BREAKING NEWS
Search

Kafir Kamu!



“Kafir kamu!”
…………….
Pagi cerah sebenarnya. Sangat cerah malah. Waktu itu aku tak merasa akan terjadi apa-apa. Tak ada tanda-tanda akan terjadi bencana atau pun musibah. Kehidupan pagi pondok pesantren ini selayak biasanya, berjalan sebagaimana hari kemarin, hari kemarin yang biasa. Karena semua serba biasa, aku pun melakukan hal-hal yang biasa kulakukan setiap pagi. Ngantri mandi yang berpuluh-puluh panjangnya, menyabuni diri dengan sabun yang tak jelas milik siapa, memakai seragam yang sudah kucel tak pernah disetrika dan sepasang sepatu yang menunggu digunakan tanpa kaos kaki. Intinya bersiap-siap menuntut ilmu seperti biasanya, berangkat ke madrasah dengan biasa, masuk kelas dengan biasa pula.

Ternyata semua hal yang serba biasa-biasa saja itu tidak berlangsung lama.

Pelajaran pertama selesai. Diiringi sayup-sayup suara pengumuman dari pengeras suara yang menggantung di kantor. Biasanya… kalau ada tanda-tanda pengumuman seperti saat ini, aku tidak terlalu memperhatikan. Tapi entah kenapa, kali ini aku terdorong untuk mendengarkan dengan seksama. Seperti ada rasa keharusan. Benar saja, pengumuman ini sangat ada kaitannya denganku.

“Bagi murid yang bernama Ahmad Shodiq dari kelas dua Aliyah, diharuskan segera ke kantor, sekarang juga,” suara pengumuman itu.

Ketak-biasa-an berawal dari sini,  pengumuman yang pe-taukid-annya dari kata “diharuskan”, “segera”, sampai “sekarang juga”. Begitu banyak. Kelihatannya tak bisa dihiraukan begitu saja. Harus segera menghadap.

Beberapa perangkat meja kantor dengan kursinya berjejer membelakangi dinding. Di atas tiap meja kantor ada papan nama dan jabatan pemilik masing-masing. Pada meja yang berpapan-namakan Kepala Madrasah bagai singgasana yang dikelilingi tempat para penghulunya.

“Kamu yang bernama Ahmad Shodiq?” tanya kepala madrasah dengan suara yang tidak terlalu keras.

“Iya Pak,” jawabku mantap. Terkesan berani dengan menatap matanya, karena aku memang tidak melakukan kesalahan. Tapi mata itu seakan-akan seperti hakim yang mengadili terdakwa kasus berat.

“Kamu kira kamu ini siapa? Hah,” nada suaranya mulai meninggi tanpa ada peringatan. 

“Sekarang baca ini!” geram kepala madrasah sambil membanting sebuah tabloid di depanku.

Kuambil Tabloid itu. Kubuka halaman opini atas perintah kepala madrasah. Segera kulihat artikel yang bertuliskan, Penulis : Ahmad Shodiq.

Sejenak, kejadian beberapa hari lalu kembali terekam.

“Yakin kamu Diq?”

“Iya, sudahlah masukkan saja artikelku itu! Memang kenapa sih, apa kamu masih meragukan tulisanku. Lagipula kamu yang minta aku untuk mengisi opini kan?”.

Wajah temanku itu masih ragu sambil membaca artikelku yang sudah dibacanya berkali-kali, untuk memastikan kembali atau lebih tepatnya berharap kata-kata pada artikelku berloncatan dan merubah isinya. Sebagai Pimred, si Ahmad ini punya kewajiban untuk memutuskan bagaimana agar isi tabloid yang dipimpinnya punya bobot yang pas bagi pembaca tidak hanya sekadar bacaan yang tak bermutu. Menurutku dia patut untuk mempertimbangkan artikelku itu, karena artikelku membuat dia bukan lagi mempertimbangkan akan opininya berbobot atau tidak, tapi apakah bobotnya tidak terlalu memberatkan. Walau sebenarnya, awalnya dia yang memintaku untuk mengisi rubrik opini.

“Oke…oke..akan kumasukan, tapi nanti kalau ada apa-apa kamu yang tanggung jawab sebagai penulis.”

“Sip… gampang kalau masalah itu,” jawabku sambil tersenyum. Senyum yang sekarang berubah kegugupan di depan kepala madrasah.

Ternyata kata-kataku di depan Pimred tempo hari itu menjadi bumerang untukku. Kembali dari lemparan, mendarat persis di tenggorokan. Karenanya sekarang tenggorokanku seperti tercekik. Tak bisa bicara.

“Heh… jangan diam saja!” bentak kepala madrasahku.

“Apa kamu yang menulis artikel ini?”

“I..i…iya …Pak,” jawabku dengan suara tercekat karena kaget. Baru kembali dari masa lalu.

“Jawab yang benar!”

“Iya Pak,” jawabku mecoba lebih tegas.

Tapi ketegasanku ini dibalas dengan ledakan bentakan kata-kata yang saling sambung-menyambung.

“Lalu apa yang kamu pikirkan, sampai menulis hal seperti ini. Kamu ini masih bau kencur. Belum tahu apa-apa. Baru sekolah kemarin sore, tidak tahu rasa asin garam. Berani benar kamu nulis macam ini…… KAFIR KAMU!!!”

Bagai terdengar suara halilintar di telingaku. Kalimat terakhir tadi benar-benar membuatku terdiam sejenak, kaget. Bahkan seakan halilintar itu meyambar-nyambar tubuhku pula. Merinding semua, seperti tersetrum seluruh tubuh ini. Pusing, bingung campur aduk di kepala. Tapi entah kenapa seperti ada yang lain di hatiku. Perasaan yang lain. Perasaan yang sedikit bisa menutupi rasa-rasa yang terasa di awal tadi. Perasaan tidak terima. Sedikit emosi.

“Maaf Pak, apakah Bapak tidak berlebihan. Mengatakanku sebagai seorang yang kafir. Padahal sudah nyata-nyata saya dilahirkan sebagai seorang muslim. Saya syahadat, saya sholat, saya zakat, saya puasa, kalau saya mampu saya pun akan haji. Apakah tadi-tadi itu tidak cukup bagi Bapak untuk menerima saya sebagai muslim seperti Bapak. Kalau memang belum cukup, jadi harus seperti apa lagi seorang muslim itu. Tolong Pak dijawab!” dengan sedikit emosi kata-kata tadi terucap. Lebih berani dari sebelumnya.

Kaget. Itulah yang kutangkap dari raut wajah kepala madrasahku. Sepertinya beliau kaget aku bicara seperti itu dan kaget karena aku lebih berani.

“Jangan sok kamu ya… aku ini kepala madrasahmu. Bukan orang yang sembarangan. Dengan melihat artikel yang kamu tulis sudah jelas bagi semua orang kalau kamu mencoba menyalahkan Islam dan muslim bahkan membenarkan mereka yang mengajarkan aliran sesat. Lalu apa namanya kalau bukan kafir? Hah?”.

“Maaf Pak. Kalau begitu Bapak salah mengerti dalam mengartikan artikel saya. Saya bukannya bermaksud menyalahkan muslim apalagi Islam. Itu tidak benar Pak. Saya, melalui artikel itu cuma ingin memperingatkan sebagai sesama muslim di negeri ini untuk tidak melupakan bagaimana sebenarnya ajaran Islam dalam menyikapi adanya aliran lain. Itu saja. Apakah saya salah? Lalu apakah semua pengerusakan dan pembantaian yang mereka lakukan adalah benar?” sangkalku.

“Salah. Jelas kamu benar-benar salah. Kamu ini masih dangkal ilmunya. Baru saja kelas dua Aliyah sudah sombong. Paham apa kamu tentang kebenaran ajaran Islam. Mereka yang kamu salahkan itu lebih pintar dari kamu. Lebih paham kebenaran Islam dari pada kamu. Dengan menyalahkan mereka yang sebenarnya benar, maka kamulah yang salah. Sudahlah kamu memang salah.”

Aku masih tidak terima. Sudah jelas-jelas aku benar dalam hal ini. Tapi kenapa kepala madrasah masih keras kepala mengataiku kafir dengan alasan yang tidak jelas. Apa beliau berbuat begitu karena gengsinya yang tidak mau dianggap salah atau kalah oleh muridnya. Beginikah para pengajar kita sekarang? Tragis!

Sebenarnya aku masih mau menguatkan argumenku. Tapi sebelum aku bicara lagi, kepala madrasah sudah menyahut lebih dahulu.

“Sudah-sudah tidak ada gunanya berdebat denganmu. Sekarang panggil Pimrednya. Dan kamu segera kembali ke kelasmu,” ujar kepala madrasah, tanpa menghiraukan tanda-tanda bahwa aku masih ingin meneruskan pembicaraan.

Hampir-hampir aku ingin melontarkan kata-kata tajam bahwa beliau takut kalau kalah argumentasi dan mengalihkan pembicaraan. Untung aku masih tahu diri.

“………Baik….Pak,” jawabku dengan nada tidak ikhlas.

Akupun pergi meninggalkan kantor. Tanpa menghiraukan tatapan mata dari guru-guru yang ketika itu ada di dalam kantor.

Ketika aku membuka pintu kelasku yang kebetulan sekelas dengan Ahmad. Aku melihat tanganku bergetar di gagang pintu. Tapi aku paksakan untuk membuka pintu. Aku tidak mau kelihatan lemah setelah kejadian tadi.

Aku masuk kelas. Pertama menjelaskan pada guru yang sedang mengajar bahwa aku tadi dipanggil di kantor. Guru pun mengangguk tanda mengerti dan diperintahnya aku untuk duduk kembali ke bangkuku. Sebelum kembali ke bangku, aku memberitahukan pada guruku kalau Pimred Tabloid, Ahmad, dipanggil kepala madrasah di kantor. Aku pun menuju bangkuku, berpas-pasan dengan Ahmad yang mau memenuhi panggilan. Dia melihat mataku minta penjelasan tanpa kata. Tapi aku diam saja. Nanti dia juga tahu. Aku pun sedang malas memberi isyarat apapun, apalagi berbicara.

Semua terjadi begitu saja, tanpa spasi. Sangat tidak dapat dimengerti. Apakah kejadian tadi cukup bagi kepala madrasah sebagai alasan untuk mengambil keputusan yang sangat tidak masuk akal ini. Keputusan ini sungguh membuat banyak kalangan kecewa. Banyak yang tidak tahu apa-apa turut jadi korban. Dengan keputusan ini sia-sialah kerja lembur kami sebagai redaksi tabloid. Bagaimana tidak, selama berminggu-minggu tidak pernah tidur tepat waktu, hanya untuk mengurusi tabloid. Tapi hasilnya…dicabut dari peredaran. Padahal sudah terdistribusi dua hari yang lalu. Sudah banyak yang membeli dan sekarang harus diminta kembali, tentu uangnya juga dikembalikan. Tapi tetap saja, itu membuat pembaca kecewa. Mereka sudah menyisihkan waktu untuk membeli dan punya niatan membaca malah diminta kembali. Beruntung bagi mereka yang sudah sempat membacanya sampai khatam duluan. Dan yang paling mendapatkan kesulitan adalah redaksi sendiri. Mereka harus kerja lagi untuk mengambil kembali tabloid yang sudah beredar. Pekerjaan ini sangat sulit karena tabloidnya sudah terlanjur menyebar ke mana-mana. Mereka harus mengumpulkan seluruhnya karena kepala madrasah sudah mewanti-wanti nanti akan dihitung jumlahnya. Jumlahnya harus sesuai dengan ketika terbit.

Dan yang paling merasa bersalah tentunya aku. Semua gara-gara artikelku, walau banyak kalangan yang mengatakan ini bukan kesalahanku, tapi kesalahan kepala madrasah yang keterlaluan. Entah, tapi aku tetap merasa bersalah atas berita yang disampaikan Pimred dengan wajah murung setelah dia menghadap kepala madrasah tadi pagi.

“Ahmad, apa yang dikatakan kepala madrasah tadi,” tanyaku ketika dia keluar dari kantor waktu istirahat.Kelihatannya dia juga habis beradu argumentasi dilihat dari raut mukanya dan lamanya waktu dia di kantor. Tentunya dia pun kalah.

“Tidak dapat diselamatkan Diq,” jawabnya simpel.

“Tidak dapat diselamatkan bagaimana? Apanya?” tanyaku lagi. Aku tidak mengerti perkataannya waktu itu.

“Ya… Tabloid kita...Dia nyuruh narik dari peredaran,” jelasnya secara gamblang, tapi tidak ada nada menyalahkan.

“Apa! Sampai segitunya………”

“Ya gak tahu. semua keputusan kan terserah dia. Tapi tenang ini bukan salahmu kok,” katanya mencoba menenangkan aku yang syok.

Syok!!! Tidak terima sekadar hanya syok saja. Bahkan segala rasa bersalah semua terasa. Sebagai pelaku utama penyebab musibah ini tentu menjadi beban mental tersendiri bagiku. Semua menjadi serba salah. Andai aku ikut saran dari Ahmad saat itu tentunya sekarang tidak akan ada kejadian seperti ini. Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Ya sudah, aku mencoba untuk bersikap biasa lagi dan mencari pembenaran atas tindakan itu.

Pembenaran? Pembenaran atas tindakanku itu? Adakah?

Setelah pulang dari madrasah yang penuh kejadian tidak mengenakkan, aku kembali ke pondok pesantren dengan langkah gontai. Badan capek, pikiran mumet. Langsung saja sesampainya di pondok aku cuci muka serta wudlu mencari penyegaran kembali, sekaligus sholat. Lalu tiduran di tempat yang selalu setia menerima tubuhku, siang maupun malam. Kamarku yang hangat karena tumpukan baju.

Disinilah, aku terbiasa termenung memikirkan apa saja, termasuk saat ini, aku kembali teringat kejadian tadi pagi di madrasah.

……………...

“Kafir kamu…”

………………

“Baiklah ini nggak akan pernah selesai nanti, kalau disesali terus, aku harus segera  menemui  Abah,” hanya itu yang bisa aku pikirkan kemudian, setelah sadar tidak ada gunanya hanya sekadar mengingat-ingat dan bersedih diri di tempat tidurku.

Abah, sosok yang sangat kuhormati setelah kedua orang tuaku. Beliau adalah kiai di pondok pesantren ini. Kudapati dirinya selain sebagai kiai yang mengajar ngaji, juga sebagai orang tua yang pantas dituakan, orang tua yang penuh dengan kebijaksanaan. Karenanya Beliau dipanggil dengan sebutan Abah oleh masyarakat yang mengenalnya, dan menjadi tempat penyelesaian masalah bagi siapa pun. Aku sering kali sowan ke ndalem dan berlama-lama, karena setiap kali aku dapat masalah, Beliau selalu memberiku jalan keluar secara bijak. Juga di sanalah  aku dapat merasakan aura ketenangan dari Abah yang bijaksana.

Tanpa pikir panjang, langsung saja aku menuju ke ndalem yang memang terpisah dengan komplek pondok pesantren. Aku sangat ingin bertemu dengan Beliau dan menceritakan segalanya, seperti yang sering kulakukan.

Sesampai di depan ndalem, aku melihat sesuatu yang biasanya tidak ada di sana. Janggal. Sebuah motor yang terlihat tidak asing lagi. Aku mencoba mengingat-ingat pemilik motor itu, tapi gagal.

“Ah…apa sih pentingnya sebuah motor saat ini,” pikirku kemudian.

Dengan tidak menghiraukan motor itu, aku segera memasuki pekarangan rumah, melewati pohon rambutan yang sudah tak selebat dulu.

“Assalamu’alaikum,” sapaku sesampai di depan pintu.

“Wa’alikum salam,” jawab dua suara dari dalam rumah. Kesemuanya suara laki-laki dewasa. Yang satu aku tahu itu suara Abah dan yang satunya lagi, entah… sepertinya aku mengenalnya. Tapi sekali lagi aku tak menghiraukan hal itu.

Pintu dibuka oleh Abah. Dilihat dari raut mukanya dapat kutebak beliau sangat mengharapkan kedatanganku. Dan aku dipersilahkannya masuk. Tapi belum sempat aku masuk sepenuhnya tubuhku sudah terasa membeku terlebih dahulu, karena adanya seseorang di ruang tamu. Sosok itu sedang pamit pulang pada Abah. Lalu ia berbalik ke arahku atau lebih tepatnya ke arah pintu keluar yang kututupi. Ia tidak kaget melihatku di sini, malah ditepuknya pundakku dan seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dipilihnya hanya tersenyum. Aku ingat, tubuhku menutupi jalan keluar, aku segera menyingkir. Ia pun bergerak keluar dan menaiki motornya. Pikiranku tambah kalut.

“Bukankah baginya aku ini orang kafir. Tapi kenapa sikapnya berbeda jauh dengan tadi pagi,” setidaknya itulah yang dapat kupikirkan dengan otak kosong, sambil melihat belakang tubuh kepala madrasah semakin menjauh dengan motornya.

“Hei Diq, kamu mau duduk, apa diam saja di sana?” tegur Abah.

“Eh…i…iya Bah”.

Lalu kami duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Hanya berdua.

“Abah sudah tahu segalanya Diq,” Abah memulai pembicaraan.

“Pasti dari kepala madrasah tadikan, Bah?” sambungku seketika.

“Iya…,” tambahnya.

“Lalu bagaimana pendapat Abah dengan adanya peristiwa itu?” aku kembali bertanya.

Beliau memandangku untuk beberapa saat dengan pandangannya yang tajam dan jernih, kemudian menjawab, “Kamu yang salah Diq”.

Apa?…sungguh diluar dugaan jawaban Abah itu. Di madrasah teman-teman tak ada yang menyalahkanku, tapi Abah yang semula aku harapkan memberiku dorongan malah menyalahkanku.

“Jadi Abah sekarang sepaham dengan kepala madrasah. Ia pasti ke sini untuk mempengaruhi Abah. Dan pastinya Abah sekarang menganggapku kafir, sebagaimana kepala madrasah”, cecarku dengan emosi, terlupa beliau adalah orang yang kuhormarti.

Abah hanya tersenyum melihat sikapku. Lalu Abah bicara, “Abah tidak mengkafirkan kamu. Lagi pulakepala madrasahmu ke sini bukan untuk menghasut Abah kok. Tapi, bagaimanapun juga kamu yang salah Diq, salah dalam penempatan di mana seharusnya kamu menulis artikel itu. Kamu harus ingat, itu adalah tabloid madrasah, akan dibaca oleh anak-anak madrasah yang kebanyakan masih awam hal-hal seperti ini. Bolehlah kamu secerdas itu dan membuat artikel itu, tapi apa kamu yakin apa yang kamu maksudkan akan dipahami oleh teman-temanmu. Bukankah akan fatal akibatnya kalau mereka salah paham, dan mengambil kesimpulan yang lain.

Persis seperti yang ditakutkan Ahmad pada awalnya. Dia pun mengatakan kalau artikelku dapat menimbulkan salah persepsi walaupun maksud dari intinya tidak salah.

Lalu sepi.

“….Jadi… apa aku memang salah…?” tanyaku selang beberapa menit, lebih kutujukan untuk diri sendiri.

“Tidak apa Diq, semua orang pernah melakukan kesalahan, tidak terkecuali kita. Yang penting bagaimana sikap kita setelahnya. Menjadikannya pelajaran atau menyerah begitu saja,” kata Abah karena melihat raut mukaku berubah sedih.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskan pelan-pelan untuk menenangkan pikiranku. Tapi aku teringat sesuatu.

“Tapi Bah, apa Abah pikir tidak keterlaluan Kepala madrasah mengataiku kafir?” ucapku tiba-tiba.

“O…masalah itu, kepala madrasahmu tadi ke sini juga untuk membahas masalah itu,” jawab Abah. Lalu diam, aku pun diam menunggu Beliau meneruskan ucapannya.

“Sebenarnya seorang muslim tidak boleh sembarangan menuding kafir kepada muslim yang lain,.Dan Ia sepertinya menyadari hal itu. Tadi kamu lihat bagaimana sikapnya terhadapmu berubah bukan? Itu karena Ia sadar kalau Ia salah mengataimu kafir.”

Dan perkataan Abah langsung disambung, seakan tidak ingin aku menyelanya.

“Tapi kamu harus tetap hormat. Jangan menganggapnya rendah hanya karena Ia punya salah. Ingat Ia adalah pemimpinmu, dalam Islam, kita harus taat pada pemimpin. Memang benar Ia pernah berbuat salah, tapi Ia sudah mengakui akan kesalahannya di hadapan Abah, tidak perlu kamu mengharap permintaan maafnya secara langsung, yang penting kamu sudah tahu dengan sikapnya tadi dan berita dari Abah. Lagi pula kamu adalah orang Jawa yang berbudaya. Bagi orang yang mempunyai pemimpin, kejawen mengajarkan agar tidak mengandalkan egoisme kepribadian. Terlebih untuk mempermalukan pemimpin. Seperti yang digambarkan dalam bebasan keno cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi*.”

Aku pun terdiam. Berfikir, berpikir, berpikir.

*boleh cepat tapi tidak boleh mendahului, boleh pintar tapi tidak boleh menggurui, boleh tanya tapi tidak boleh mengganggu.


Muhammad Fahdi


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “Kafir Kamu!

    Terimakasih atas kunjungan anda....