BREAKING NEWS
Search

SELEMBAR UANG KERTAS

Oleh : Lulus Novita*
 Matahari menyengat kulit berwarna sawo matang. Dengan perlahan keringat di keningnya keluar, mengalir dengan cepat melewati pelipis hingga terjatuh membasahi baju yang Ia kenakan. Kedua bola matanya basah. Pandangan tetap tertuju ke depan. Kakinya dengan berat mengkayuh sepeda tua yang sudah berwarna hitam kusam. Bibir tebalnya berkomat-kamit membaca doa. Di sepanjang perjalanan yang ada di dalam benaknya hanya raut wajah seorang perempuan yang sudah membesarkan dirinya. Angin masih saja ramah menyapa rambutnya yang tidak terlihat rapi.
         
“Bu, maafkan aku yang sudah menyakitimu,” ujarnya dengan pelan. Bulir-bulir air matanya terus keluar. Sementara kaki masih mengkayuh sepeda. Telapak tangan kirinya mengusap air mata.

Sesampai tempat yang dituju, lelaki bertubuh tegap dan bermata sayu memarkirkan sepedahnya dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju pusat informasi. Penglihatannya mencari sebuah nama yang terpampang di papan pengumuman daftar nama-nama pasien yang ada di rumah sakit. Jari telunjuknya kanan menyentuh papan nama, bergerak ke kanan, berada di bawah garis huruf.

“Sumiyati, kamar 13 B,” ucapnya lirih. Berlari terbirit-birit. Tak sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar. Perkamar Ia fokus mencari nomor urut yang terdapat di muka pintu kamar.

“12 C, 12 D, 13 A. Ibu...” kedua kakinya tiba-tiba gemetar, jantung serasa ingin meledak. Dilihatnya orang-orang bergerombol sedang berdiri didekat pintu kamar 13 B, disela-sela kerumunan orang terlihat seorang gadis duduk di dekat kursi depan kamar, menekuk tangan di depan dada dan menundukkan kepalanya.

“Dek Ayuk,” memanggil adik kandungnya yang tengah terlihat lemas. Mengetahui kakaknya datang dan mendekatinya,

“Semua ini karena kamu Mas!, ini tidak akan terjadi kalau kamu tidak bersikap seperti itu kepada Ibu!” berteriak dengan lantang, menangis sesenggukan.
***

Bersama seorang Ibu dan adik satu-satunya, Arif menjalani hidup dengan kesibukan-kesibukan yang tengah ia kerjakan. Sebagai seorang petani yang rajin menggarap ladang warisan dari almarhum ayahnya, Ia menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Waktu kecil Arif sering diajak almarhum Ayahnya pergi ke ladang. Dimusim apa saja ia belajar dari keuletan Ayahnya. Tentang menanam padi, menanam tembakau, menanam kacang tanah. Begitupun dengan hasil yang ia peroleh. Tentang rugi dan untung yang ia dapatkan. Namun semuanya itu tidak mempengaruhi semangat dan kerja kerasnya. Ia tetap melakukan dengan rajin.

Sang Ayah meninggalkannya saat berumur delapan belas tahun. Arif seharusnya sudah menamatkan bangku sekolah menengah atas. Namun Ia hanya ingin bekerja seperti Ayahnya, seorang yang dianggap menjadi pahlawan dalam hidupnya. Hanya Ayuk, adik kandung Arif satu-satunya, gadis yang masih belia yang diharapkan Ibunya untuk bisa menamatkan sekolah menengah atas, serta dapat melanjutkan lagi ke jenjang bangku perguruan tinggi.

Bagi Arif menginjakkan kakinya di ladang sama seperti melihat senyum almarhum Ayahnya waktu tengah bersamanya. Kenangan-kenangan yang baru saja dialami tidak bisa untuk dilupakan. Berkisar dalam waktu dua minggu senyum itu terlihat menyejukkan, Meski panasnya terik matahari membakar kulit, namun tenaganya tidak hilang dibakar sinar.

Pukul tujuh pagi Arif akan berangkat ke ladang untuk memupuk padi. Satu botol dengan isi delapan ratus ml berisi kopi kental dan sepiring ketela rebus sudah dipersiapkan untuk bekal sampai sore, Ditaruhnya di atas meja dapur.

“Mas, Ayuk ikut ke ladang ya. Hari ini lagi libur sekolah” Pinta Ayuk.

“Kamu itu seharusnya bantuin Ibu di rumah Dek, di ladang itu panas,” sambil membersihkan cangkulnya yang ditebali tanah kering, dengan menggunakan sabit.

“Ayolah Mas, boleh ya,” sanggahnya amat pelan, dengan wajah memelas.

“Kamu itu tetap saja keras kepala, iya.. meskipun aku tahu kamu itu ingin bemain dengan teman-temanmu.. hanya saja..”

“Hanya saja, kenapa?” sanggahnya lagi, keningnya mengkerut.

Ibunya tersenyum melihat mereka akrab. Senyum tipisnya membuat wajah perempuan yang berusia senja itu menjadi kian manis. Helaian rambut berwarna pirang selalu disanggul rapi. Seorang perempuan asli jawa yang dapat mengikat beberapa laki-laki, maklum sewaktu masih gadis dulu menjadi bunga desa. Dan kini sayangnya perempuan itu janda dan tidak ingin menikah lagi. Orang-orang di kampung memanggilnya Sumiyati.

“Ibu hari ini mau masak sayur apa,?” tanya Arif sembari mendekati Ibunya yang sedang berdiri di muka pintu dapur, sambil menatap isi dapur.

“Kamu pengennya mau dimasakin apa Le?”

“Terserah Ibu, semua masakan Ibu selalu enak,” jari-jari tangannya mulai mencari sesuatu, merogoh ke dalam saku lalu menyodorkan selembar kertas uang dua puluh ribu kepada Ibunya.

“Le, disimpan saja uangmu, siapa tahu kamu membutuhkannya,”

“Uang ini untuk berbelanja, kira-kira tiga hari lagi panen Bu. Aku hanya berharap Ibu tidak hutang sama Yu Samirah, aku tidak suka melihat Ibu hutang kepada siapapun orang. Kalau Ibu butuh uang lebih, Ibu bilang saja aku usahakan untuk mendapatkannya,” Menatap Ibunya lekat-lekat dengan penuh harap agar perempuan yang selama ini membesarkan dirinya tidak terlalu memikirkan dalam urusan hutang.

“Iya, Le. Ibu tidak akan hutang sama tetangga, apalagi Yu Samirah” membalas tatapan anaknya, sebagai isyarat untuk meyakinkan.
***

Cuaca terlihat mendung, Sumiati, buru-buru mengambil pakaian di jemuran. Sementara kedua anaknya masih di ladang. Wajahnya diliputi rasa kekhawatiran.

“Nduk, Le. Kalian kok belum pulang, sebentar lagi hujan,” gumamnya dalam hati. Duduk di teras depan yang beralaskan anyaman bambu.

Langit berubah menjadi gelap. Semilir angin mulai menggoyahkan sisa-sisa helaian rambutnya. Pandangannya mengarah ke ujung jalan, kekhawatiran ini pernah terjadi saat harapannya menanti sang suami pulang namun tak kunjung kembali. Deras hujan yang mengguyur pelosok desa membuatnya teringat akan kehilangan suami yang dicintainya. Sebuah motor yang dikendarai tetangganya tiba-tiba menghantam tubuh suaminya hingga nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan. Itu sebabnya puncak kekhawatiran selalu hadir saat hujan turun.

Nampak dari kejauhan seorang perempuan berjalan tergesa-gesa. Kedua kakinya tanpa menggunakan alas kaki, memakai caping yang terbuat dari susunan jaun jati yang sudah kering, menutupi kepalanya agar tidak basah. Mendadak menghampiri Sumiati yang sedari tadi menunggu kedatangan anak-anaknya.

“Sum, sore ini aku butuh uang, kamu satu-satunya orang yang aku harapkan,” tangan keriputnya memegangi kedua tangan Sumiati, sambil duduk dan memohon dengan belas kasihan agar hati Sumiati tergoyah dan mampu menolongnya. Mendapati jari-jari tangannya yang tengah dingin, pandangan matanya yang sendu, juga wajahnya yang terlihat pucat pasi.

“Yu Samirah, hari ini aku tidak ada uang banyak. Tadi hanya dikasih anakku uang Dua Puluh Ribu, tiga hari lagi Yu pasti hutang aku bayar,” hujan semakin deras, langit semakin gelap, hati Sumiati mulai bergemuruh mendengar tetangganya datang menagih uang yang dipinjamnya. “duduk dulu Yu, aku buatkan teh hangat”  kaki Sumiati melangkah menuju ke dapur.


Angin dengan perlahan masuk disela-sela lubang kecil rumah yang berdinding bambu, berlantai tanah, dihiasi meja dan kursi yang terbuat dari pohon jati tua, kusam. Samirah mematung di ruang tamu yang berukuran 3x4 meter.

“Yu, kapan kesini, kok sendirian, lha Ibu di mana?,” tanya Arif yang baru saja tiba bersama adiknya, tubuhnya basah kuyup sembari mengambil cangkul yang melekat di atas pundaknya. Menghampiri tetangganya, Samirah dan mengajaknya bersalaman.

“Iya, baru saja rif. Ibumu ada di belakang,” memandangi arif, memperlihatkan senyumnya. “tadinya aku mau minta uang sama ibumu, sepertinya sedang tidak punya uang,”

“Ibu punya hutang lagi, Yu?” menatap wajah perempuan itu dengan hati merasa tidak enak.

Tidak lama kemudian Sumiati datang memberikan segelas teh hangat, ditaruhnya di atas meja dan menyuruh Samirah untuk meminumnya. Namun disisi lain terlihat ada rasa kekecewaan yang datang di hati kecil seorang anak laki-lakinya itu . Keningnya berkerut dan menyisakan rasa sesal.

“Diminum. Yu. Nanti keburu dingin,” pinta Sumiati dengan suaranya yang lembut. Dalam dada sumiati berharap agar anak laki-lakinya tidak mengetahui perihal hutang yang selama ini disimpan sendiri dengan baik.
***

Suasana di dalam rumah tampak hening. Di ruang tamu, tak ada satupun orang yang membuka pembicaraan. Lidah Sumiyati kelu, hatinya selalu berdesir sangat cepat. Kedua anaknya hanya duduk terdiam. Sementara lampu teplok yang diletakkan di atas meja sangat memperjelas raut wajah anak laki-lakinya yang dari tadi terlihat muram.

“Aku kecewa dengan Ibu. Aku kan sudah bilang, kalau Ibu butuh uang tolong bicara sama aku, jangan pinjam uang Yu Samirah. Ibu sendiri tahu kan Yu Samirah hidup sendirian tanpa ada yang membantu. Ditinggal suaminya, tidak punya anak.” Arif tiba-tiba langsung beranjak dari tempat duduk, berjalan menuju kamar tidur. Sedangkan adiknya mendekati ibunya yang tengah bersedih.

“Ibu, Mas Arif mungkin lagi kecapean, jadi terbawa emosi. Ibu istirahat saja ya, kata-kata Mas Arif  tadi jangan diambil hati,” berdiri di samping Ibunya, kedua tangannya memegangi pundak Ibunya. Dalam hati anak perempuan itu hanya berharap agar ibu yang dicintainya tidak tertekan mendengar kakak satu-satunya mengungkapkan perasaannya tadi, meski perkataannya dapat menggetarkan dada perempuan itu.

“Sejak awal Ibu ingin berbicara jujur mengenai hutang nduk, namun Ibu kasihan kalau melihat Arif setiap hari bekerja seperti itu, melihat beban berat yang dipinggul. saat kematian bapakmu, Yu Samirah sengaja meminjamkan uangnya kepada Ibu untuk mengurus pemakamannya. Yu Samirah tentu pernah merasakan bagaimana saat dulu ditinggal suaminya. Dia berbicara sendiri waktu itu bingung harus mencari uang dari mana untuk mengurus pemakaman almarhum. Itu sebabnya ibu berani menerima tawarannya, sedangkan saat itu Ibu tidak memegang sama sekali. Ibu hanya berjanji sewaktu-waktu jika ada uang Ibu bayar. Setelah panen nanti Ibu akan melunasi hutang. Ibu sudah mengecewakan kalian”

Mendengar jawaban perempuan yang sudah sembilas belas tahun membesarkan dirinya, Ayuk segera memeluk erat.

Nggak, Bu. kita yang tidak mengerti. maafkan Mas arif dan Ayuk ya Bu,”
***

Dalam sehari-hari Arif masih saja disibukkan dengan aktifitas pekerjaannya di ladang. Sesampai di rumah hanya istirahat dan memilih untuk berdiam diri di kamar tidurnya. Tidak seperti biasa terkadang mengajak Sumiyati berbicara panjang lebar mengenai perkembangan dalam menggarap ladangnya, juga mengiyakan adiknya untuk ikut membantu pekerjaan di ladang. Sumiyati selalu berharap anak lelakinya mau mengajaknya berbicara dan bercanda, selalu membayangkan.

Seisi rumah sunyi senyap. Malam bertabur bintang. Ayuk duduk di teras depan rumah. menatap gemerlap cahaya yang terlihat dari balik awan hitam. Cahaya yang sempurna. Sambil menunggu kedatangan Sumiyati yang sudah dua jam pergi meninggalkan rumah.

“Yuk, Ibumu Yuk,” suara itu datang mengagetkan hati perempuan yang tengah merindukan ketenangan. Seorang laki-laki lewat belakang rumah dan berjalan samping teras menghampirinya dengan nafas terengah-terengah seperti habis berlari panjang.

“Ibumu ditemukan pingsan di tengah jalan depan pintu makam, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit.” Laki-laki itu membuat panik hati gadis yang tidak mempercayai kabar yang baru saja didengarnya.

“Kang, tolong antarkan aku ke sana sekarang,”
***


Dari balik jendela ruangan yang serba putih, Kedua bola mata yang dari tadi basah hanya bisa memandangi tubuh seorang perempuan, Ibunya. Bibir tipisnya sambil melantunkan doa, berharap agar ibunya segera membuka mata, setelah dua belas jam belum ada perkembangan. Dokter memvonisnya mengidap penyakit jantung.

“Dek, maafkan Mas. Mas sangat menyesal melakukan tindakan bodoh seperti ini. Mendiamkan Ibu berlarut-larut.” Sebelum melihat lelaki itu menangis, Ayuk pernah melihat air mata saudara kandungnya terjatuh ketika melihat almarhum Ayahnya dimasukkan ke dalam liang lahat.

“Minta maaf kepada Ibu, Mas. Jangan kepadaku” jawabnya.


The end



*Ikamaru Jogja, Mahasiswa Jurnalistik UIN Suka


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


2 thoughts on “SELEMBAR UANG KERTAS

    1. LUNO!!!!!!!! penyematan identitas keJAWAan tokoh2 dlm cerpen diatas AQ kira bs jg lwt budaya nembang/nyanyi,,,,bisa kan moment saat IBU sumiyati menanti ke-teko-an anak2nya - tokoh INI men-nyambi nya dgn menyanyikan tembang jowo ato nyanyian campursari (misal saja: caping gunung) *yg aq kira lirikny sinkron dgn moment tsb.....
      oper ol ,,,,pnulis/pengarang tlh brhsl mnympaikn a man at dr cerpen ni SCR tepat sesuai dgn judulny....
      kedepannya nanti, AQ amat menunggu true story Dr khdupn penulis yg satu ni bisa dituliskn...trutama fase dmn DIA PRA menjadi mahasiswi jurnalistik uin sukijo hheeeeee...... salamALAYkum..

      BalasHapus
    2. makasih sob, :) masukan yang sangat bagus dan semoga untuk ke depannya lebih baik. hehe :D salam,

      BalasHapus

    Terimakasih atas kunjungan anda....