Gus
Maksum adalah seorang Kyai yang menjadi teladan bagi santri pondok pesantren
Lirboyo Kediri. Beliau adalah seorang Kyai yang mumpuni dalam bidang pencak
silat. Semasa hidupnya, beliau sangat mencintai olah raga pencak silat sehingga
beliau di samping di kenal sebagai seorang Kyai tetapi beliau juga dikenal
sebagai seorang yang sakti mandraguna, bahkan nama beliau hingga saat ini masih
tetap harum di dalam dunia Persilatan.
Kehidupan
beliau memang selalu identik dengan dunia persilatan, pastinya kita tidak asing
lagi dengan nama “ PAGAR NUSA ” yaitu ikatan pencak silat Nahdlatul
Ulama yang dididirikan pada tanggal 3 januari 1986 di pondok pesantren Lirboyo
oleh para kyai-kyia NU dan sekaligus mengukuhkan Gus Ma’sum sebagai ketua.
Gus
Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, beliau
adalah salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul
Karim. Semasa kecil beliau belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di
Kanigoro. Menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah Lirboyo. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai
daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan.
Beliau
berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati
lutut, selalu memakai Terompah (bakiak). Lalu, seperti kebiasaan orang-orang
“jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot.
Beliau suka memelihara binatang yang tidak umum. Misalnya beliau memelihara
beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera,
orangutan dan sejenisnya namun kali ini hewan peliharaan Gus Maksum yang
tersisa saat ini tinggal Buaya dan burung Kasuari.
Dikalangan
masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan
dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), punya
kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun,
mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan
seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah
sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan
kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum
cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren
melalui PAGAR NUSA.
Sebagai
jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” (PAGAR NUSA) Gus Maksum selalu
sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, Namun dirinya tidak pernah mau
menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Gus Maksum wafat di Kanigoro
pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren
Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.
Kharisma
Gus Maksum masih dirasakan oleh banyak orang, terutama warga Kediri, Jawa
Timur, terkhusus aggota perguruan Pagar Nusa. Meski almarhum sudah pergi
menghadapIlahi lima tahun silam, namun tak membuat para santrinya merasa
kehilangan panutan. Kini Kyai yang dikenal punya banyak ilmu kejadugan
(kanoragan, Red) itu terasa hadir dalam banyak kerumunan santri yang selalu
merindukan seorang panutan sebagai mana Gus Ma’sum.
SEJARAH
RINGKAS CIMANDE
Semua
komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua
mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb.
Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great
Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu
berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering
diperdebatkan, yaitu:
1.
Versi Pertama
Ini
adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah
Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini,
Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang
pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan
antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan
tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu
yang berharga.
Suatu
waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya
ada di rumah... padahal saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan
kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan
menunggu... sampai merasa jengkel dan khawatir... jengkel karena perut lapar
belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum
datang juga.
Akhirnya
tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir... yang ada
tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya... "ti mana
maneh?" (Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab,
melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa
menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini
membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul... tetapi semakin
mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini
terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan menyadari kekhilafannya...
dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus "ti mana anjeun teh Nyi?
Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?" (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu
bisa "Main"?).
Akhirnya
istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci
dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah
satu monyet memegang ranting pohon.) Saking indahnya perkelahian itu
sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia
mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya
baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu
mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet
sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah
pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang
ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di
pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang
tengah malam.
Apa
yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia
dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga,
Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang
mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat
akan lupa. Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua
gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa
beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau
membangun reputasinya di dunia persilatan. Jurus yang dilatih:
1. Jurus
Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang "black
magic" dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi
panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja
dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus
Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan
jurus ini, dianggap punah. Kabarnya di Tasikmalaya di sana masih diajarkan,
semoga Guru mereka diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti
sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus
Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita
di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan
Timur dan Cianjur Selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik
adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar
Maenpo Cimande selalu menjawab "ti indung" (dari ibu), karena memang
mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu
perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada
anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan
kepada Abah Khaer.
Perkembangannya
Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama
dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang
sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 - awal
1900),Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai
Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai
Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
GHOST