BREAKING NEWS
Search

Tolak Pabrik Semen di Rembang, Tolak Konversi Lahan

Oleh: Renal Rinoza*

Pulau Jawa sebagai pusat aktivitas industri dan pembangunan infrastruktur benar-benar telah mengalami kelebihan kapasitas. Hal ini terlihat dari semakin kritisnya lahan akibat aktivitas industri, termasuk di dalamnya kegiatan industri ekstraktif—satu di antaranya adalah kegiatan produksi pabrik semen. Kegiatan industri ekstraktif ini makin diperparah dengan rencana ekspansi pendirian pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Persoalan pun menjadi semakin rumit karena ekspansi bisnis semen berhadapan langsung dengan elemen masyarakat yang tinggal di sana.

Rencana pembangunan pabrik semen tersebut tentu memicu eskalasi konflik agraria. Dapat kita saksikan bahwa kasus pendirian pabrik semen di gugusan pegunungan Kendeng Utara masih terus berjalan. Masyarakat sekitar pun beberapa kali mengajukan tuntutan ke PTUN. Tak kalah dengan itu, aksi solidaritas pun kian menyebar ke seantero negeri demi satu tuntutan: Tolak Pabrik Semen di Rembang!


Ekspansi pendirian pabrik semen di Rembang adalah persoalan konversi lahan dari area konservasi dan pertanian menjadi area eksplorasi tambang melalui penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini merupakan sekelumit persoalan krisis ekologi di Indonesia yang tak kunjung usai. Problem ini terus aktual dan bahkan semakin masif belakangan ini. Bagaimana tidak, IUP adalah salah satu dari sekian banyak kekeliruan orientasi pembangunan—yang pada latennya hanya mengejar pertumbuhan dan kepentingan bisnis belaka (profit first).


Dari laporan penelitian membuktikan bahwa telah terjadi penurunan kapasitas lahan dan daya dukung lahan yang berdampak bagi kelangsungan ekosistem. Hal itu terjadi karena maraknya alih fungsi lahan, seperti pembangunan area blok migas, ekstraksi sumber daya air oleh perusahaan air minum, konversi lahan ke pembangunan properti dan kawasan industri, reklamasi, dan berbagai macam sistem enclosure (bersifat memagari) lainnya adalah sekian dari kasus-kasus yang mempunyai daya rusak bagi daya dukung ekologis. 


Konversi lahan  tentu berdampak pada rusaknya proses ekologi suatu wilayah. Eksploitasi lahan membawa konsekuensi pada terjadinya ketidakseimbangan ekologi. Sebagaimana dalam rumusan ilmu ekologi dinyatakan bahwa apabila dua ekosistem yang berbeda tingkat perkembangannya, kemudian saling berhubungan satu sama lain maka terjadilah tukar-menukar materi, energi dan informasi yang pada gilirannya arus tukar menukar tersebut bersifat asimetris (Soemarwoto, 1983; 2001). 


Artinya telah terjadi ketidakseimbangan ekologi karena yang dieksploitasi lebih berkembang. Kita ambil contoh apa yang terjadi di kawasan Karst Watuputih Rembang. Berdasarkan temuan data dan penelitian, bahwa pembangunan pabrik semen sudah bisa dipastikan lebih banyak 'memakan' atau menggerus ekosistem asal. 


Hal Ini baru penggerusan lingkungan biofisik, belum lagi soal konflik dengan warga setempat—umumnya konflik yang terjadi adalah konflik agraria dan perebutan akses sumber daya lahan. Apa yang terjadi di kawasan pengunungan Kendeng Utara dan kawasan karst Watuputih adalah konflik mengenai peruntukan lahan. Sementara warga mempertahankan lahan sebagai bagian dari ruang hidup mereka dan di lain pihak perusahaan semen menginginkannya sebagai lahan eksplorasi dan eksploitasi.


Dikhawatirkan, pendirian pabrik semen di Rembang berdampak bagi menyusutnya daya dukung lingkungan; baik daya dukung biofisik dan daya dukung sosial yang satu sama lain saling terkait sebagai satu kesatuan ekosistem. Berdirinya pabrik semen di satu sisi mengubah pola penghidupan warga setempat, celakanya perubahan ini semakin meminggirkan peran sosial dan ekonomi warga setempat. Di sisi lain, pembangunan pabrik semen di Rembang memperburuk sumber cadangan penyimpanan air dan keanekaragaman hayati di sekitar kawasan.


Bukankah keseimbangan ekologi sangat dibutuhkan warga untuk menjaga kelangsungan hidup dan juga berfungsi untuk menjaga fungsi lindung kawasan yang terdiri dari biota, mata air, ponor—pori-pori atau lubang tempat air meresap ke dalam bebatuan karts, sedimentasi, dan habitat fauna di kawasan karts.


Kawasan karts Watuputih sudah jelas sebagai kawasan konservasi dan peruntukan lahan penyangganya sebagai lahan pertanian. Hal ini sesuai dengan kebijakan tata ruang nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.  Disebutkan bahwa kawasan karts merupakan salah satu kawasan Lindung Geologi yang berfungsi sebagai kawasan konservasi geologi.


Rencana pendirian pabrik semen sudah sangat jelas tidak sesuai dengan kebijakan tata ruang nasional pemerintah. Namun, anehnya IUP dikeluarkan oleh pemerintah. Jelas ini bertabrakan dengan apa yang sudah digariskan oleh pemerintah melalui skema perencanaan tata ruang nasionalnya. Kasus Rembang menarik karena pemerintah satu sama lain, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak sinkron dalam membuat keputusan dan pemberian izin.


Pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang Cekungan Air Tanah (CAT) dan Perpres tentang Rencana Tata Ruang Nasional sudah jelas melarang setiap pemberian izin konsesi dan kegiatan pertambangan di wilayah konservasi. Namun pemerintah daerah berkata lain, dengan serta-merta memberikan kuasa izin pertambangan.

Semakin aneh tatkala baik Pemprov Jateng dan Pemkab Rembang melalui Perda mereka masing-masing menyatakan bahwa kawasan Karts Watuputih adalah area konservasi, namun dokumen Amdal menyimpulkan bahwa di area konservasi tersebut bisa dilakukan aktivitas pertambangan—pada kasus ini memperlihatkan secara terang betapa kesimpulan Amdal sangat ambivalen. Jelas, ini adalah bentuk inkonsistensi pemerintah dalam membuat kebijakan dan keputusan soal zonasi yang boleh dan tidak boleh dikonversi. Entahlah, logika apa yang dipakai pemerintah daerah untuk meloloskan  IUP.


Pemberian izin usaha pertambangan bertentangan dengan daya dukung kawasan koservasi dan daerah penyangganya seperti kawasan pertanian yang dikelola oleh masyarakat secara komunal. Ini juga menyangkut aspek tapak ekologi (ecological footprint) di mana penggunaan lahan dan sumber daya yang digunakan mempunyai dampak langsung dan tidak langsung terhadap kapasitas daya dukung lingkungan.


Selain itu, peralihan dari kawasan konservasi dan lahan pertanian ke kawasan industri ekstraktif berakibat pada semakin tingginya tuntutan luas lahan dan tekanan terhadap sumber daya. Pertanyaannya, apakah nanti kawasan karts dan lahan pertanian warga yang beralih fungsi tersebut memiliki tuntutan terhadap besarnya tapak ekologi. Jawabnya, Iya! Kenapa, karena  daya dukung dan daya tampung lahan mengalami kondisi overshoot (melampaui ambang batas ekologis).


Berdirinya pabrik semen dipastikan berdampak bagi perubahan elementer kawasan. Selain dampak ekologis juga berkontribusi besar terhadap perubahan lingkungan sosial. Misalnya terbatasnya akses dan rusaknya sistem sosial masyarakat setempat. Namun ada saja pembenaran dari salah seorang akademisi yang menyatakan bahwa dengan berdirinya pabrik semen membawa efek domino positif yaitu terangkatnya ekonomi masyarakat setempat dan dapat mengurangi jumlah penggangguran.

Persepsi tersebut jelas menyesatkan karena selama ini basis sosial-ekonomi masyarakat sama sekali tak terganggu. Kemudian perlu digarisbawahi bahwa selama ini pola pertanian subsistensi yang dijalani oleh masyarakat sudah bisa memberikan penghidupan. Justru berdirinya pabrik semen membuka celah terjadinya eksklusi sosial dan menghancurkan sistem pertanian subsistensi di sana.


Pada hematnya, kasus Rembang adalah perwujudan dari praktik pembangunan yang salah kaprah, pembangunan yang hanya diperuntukan untuk kepentingan bisnis semata dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Tentu hal Ini bertentangan dengan gembar-gembor pemerintah soal visi pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata, sebagaimana termaktub di RPJMN 2015-2019 bahwa sasaran pengembangan wilayah harus memperhatikan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.


Sejatinya, paradigma pembangunan di negara demokratis mensyaratkan adanya partisipasi warga yang lebih luas (broader participation) dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan publik (decision-making process). Selain itu,  pentingnya konsultasi karena bagaimanapun rakyat adalah subyek pembangunan, bukan obyek pembangunan.


Oleh karena itu, PT. Semen Indonesia dan pemerintah perlu meninjau ulang rencana pendirian pabrik semen melalui review terhadap dokumen Amdal dan peraturan-peraturan daerah. Sudah semestinya pihak PT. Semen Indonesia dan pemerintah lebih transparan dan tidak memanipulasi data mengenai dampak lingkungan di kawasan karst sehingga tidak terjadi beban ekologis yang menyertainya.


Maka, pabrik semen jelas tidak dibutuhkan oleh warga Rembang karena berdirinya pabrik bukan hanya mengkonversi lahan tetapi juga mengkonversi penghidupan masyarakat di sana. Akhirnya kita pun sepakat menolak pendirian pabrik semen di Rembang dan Pulau Jawa secara keseluruhan. Sebab menurut hasil studi dinyatakan bahwa beban daya dukung sudah melampaui ambang batas ekologi.


Hal ini semakin diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa  setiap kegiatan industri ekstraktif seringkali memiskinkan masyarakat dan merusak ekosistem.  Maka, sudah saatnya diberlakukan moratorium bahkan penutupan permanen  IUP di seluruh Indonesia. Dengan demikian, seruan Tolak Pabrik semen di Rembang adalah stepping stone bagi proses reformasi tata kelola ekologi Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan. 



* Pegiat Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) 


Sumber: JL Online


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “Tolak Pabrik Semen di Rembang, Tolak Konversi Lahan

    Terimakasih atas kunjungan anda....