Kurang lebih Sembilan bulan lamanya aku
bermukim di dalam rahim ibuku. Detak jantung dan pelampiasan kasih sayangnya selalu
dapat aku rasakan. Betapa wahnan ala wahninnya ibuku ketika itu. Dengan
susah payah beliau terus merawatku,
meski aku belum terlahir di dunia.
Sembilan belas tahun yang lalu, tepatnya 13
September 1993, aku terlahir di dunia
dengan selamat. Pertama kali merasakan angin dunia, aku terasa
kedinginan, dan aku menangis sekuat tenaga. Padahal terlahir di dunia adalah
impian semua janin. Begitulah, pertama
kali aku melihat alam baruku. Dunia yang semakin lama terasa semakin gelap.
Aku melihat, ketika aku lahir ibuku tersenyum bahagia, begitu pula bapak
dan semua kerabatku. Padahal aku tengah menangis ketakutan melihat alam baruku.
Apakah kelak aku bisa membuat mereka
menangis dengan kematianku, ataukah
mereka akan tetap tertawa seperti meliahat aku terlahir di dunia? Wallahu a’lam
Aku menikmati masa kecilku layaknya anak-anak
sebayaku. Bermain adalah prioritas utama yang harus terpenuhi. Aku bebas
merdeka mengekspresikan diriku. Orang tua pun selalu menuruti apa yang ku mau.
Namun semua
itu berubah, ketika aku menginjak bangku Sekolah Dasar. Bapak dan Ibuku
seakan berubah menjadi malaikat yang menyeramkan, aku harus memenuhi jadwal tak
tampak yang dibuat oleh kedua orang
tuaku. Pagi berangkat sekolah di sekolahan formal, siang hingga sore harus
mengikuti pengajian di sekolah milik kakak kandung ibuku. Malam sehabis magrib, aku harus mengaji di
suarau kakekku, dan dilanjutkan dengan
belajar hingga jam 21.00, tentunya
didampingi ibuku.
Semenjak itu, aku sering merasa terkengkang
dengan peraturan tak tertulis yang seakan telah menjadi kesepakatan diantara
kami. Jika pulang sekolah anak-anak lain bisa bermain sesuka hati, aku pun
hanya bisa menikmati rasa iriku terhadap
merka. Aku merasa iri dan ingin menangis sekuat tenaga dengan peraturan yang
sangat membebani masa kecilku.
Selain jadwal yang begitu padat, kedua orang tuaku juga terus
menanamkan amalan-amalan pembersih hati. Mulai kelas tiga SD aku sudah sering
berpuasa Senin-Kamis, meski kadang aku berbohong kepda Bapak dan ibuku. Di rumah
puasa, di sekolah makan sepuasnya.
Aku tahu, maksud kedua orang uaku
memperlakukanku seperti itu. Dan sudah ada buktinya, aku selalu menjadi juara
kelas hingga dinyatakan tamat dari SD. Tapi hati kecilku masih tak terima, aku
merasa kedua orang tuaku merenggut masa kecilku begitu saja.
Aku menjadi pemarah, bandel dan tak mau lagi
diatur. Apalagi ketika aku marah, tak ada satupun kerabat yang berani mendekatiku, tak heran pula jika
banyak perabot yang hancur karena pelmpiasan marahku.
Aku sampai sempat berfikir, apakah kedua orang
tuaku tak pernah kecil seperti aku. Apakah merek tidak tahu atau bahkan memang
tidak mau tahu keinginanku, yang ingin terbang bebas bersama anak-anak yang
lain. Apa mereka menganggap dengan dikengkang seperti itu anaknya akan menjadi
orang yang diharapkannya. Tentunya tidak, kenakalanku semakin menjadi, bukti
bahwa aku memang ingin seperti anak-anak yang lain.
“Siapa mau berusaha maka akan mendapatkannya,”
kurang lebih begitu kata orang bijak. Aku berusa untuk mendapatkan kebebasan,
dengan cara berbuat semauku. Akhirnya, orang tua ku sadar, hanya pesantrenlah
yang dapat menetralisir perilaku dan akhlakku.
Setelah menamkat SD aku langsung diungsikan di sebuah pesantren di
Kabupaten Blora.
Apakah benar, ketika aku dipesantren seperti
yang diharapkan ibuku? Tidak, aku berbalik 180 drajat. Sekolah sering ngeblong
(tidak masuk), berteman dengan para pemabuk, dan sering melanggar peraturan
pondok pesantren. Bahkan aku pernah mengintip kamar mandi di pondok putrid
ketika adzan subuh berkumandang.
Ku nikmati masa jauhku dari orang tua, inilah
hari dan tahun-tahun kemerdekaanku. Aku akan berbuat semauku dan menghalalkan
segala cara unutuk mendapatkannya. Hampir setiap hari aku melanggar peraturan
pesantren, tapi aku heran, para pengurus seakan hanya diam, atu mungkin
pura-pura diam. Entahlah, yang pasti selama kurun waktu tiga tahun aku berada
di pesantren itu aku tidak pernah sekali pun mendapatkan ta’ziran dari
para pengurus.
Mungkin, piker dua kali jika ingin menghukumku.
Pada saat itu posisiku sebagai tangan
kanan gusku yang terahir, anak sulung dari pengasuh pondokku. Setiap hari aku
jarang sekolah, karna diajak bermain gus ku itu, aku pun jarang mengikuti
pengajian dopesantren. Ya,,,, karena bermain dengan gusku. Jika teman-temanku
belajar bersama, aku malah bermain PS dengan gusku. Melihat itu, para pengurus
hanya bisa melihat, tidak ada tindak lanjut sama sekali.
Sepertinya pesanteren adalah replika Indonesia,
para penegak hokum tidak tegas dan berani mengganjar pejabat, anak pejabat, bahkan
temannya anak pejabat yang melanggar peraturan. Mungkin hanya satu dari seribu
penegak hukum di Indonesia.
Begitulah, kehidupanku di pesantren ketika Mts
dulu. Tapi yang paling membuatku paling heran, ketika musim tes telah tiba.
Jika difikir secara rasio aku tak akan bisa mengerjakan soal yang disuguhkan.
Apalagi hafalan, serasa tidak mungkin aku bisa menghadapinya. Tapi suatu hal yang tidak terduga, semua soal bisa
ku kerjakan. Hafalan 250 bait kutuntaskan dalam waktu satu Minggu. Inilah yang
sering dikatan para Asatidzku, barokah. Barokah melayani seorang gus, meski
mengorbankan waktu belajar. Min khaitsu la yahtasib
Semenjak pindah pesantren di Raudlatul Ulum
Guyangan, Pati aku semakin sadar akan pentingnya bejar. Ya, mungkin karena
peraturan yang ditawarkan tidak menjadi harga mati yang tidak bisa dinego-nego
lagi. Seperti bebek yang selalu
mengikuti tongkat. Dan hukuman yang tidak begitu sadis tapi menyakitkan, hanya hukuman “dikeluarkan”
membuatku takut aka melanggar peraturan pondok. Mulai dari pesantren ini, aku
berubah menjadi orang yang terpaksa berbuat baik.
Entah kenapa, gara-gara pura-pura baik aku
merasa nyaman, hati menjadi tenang karena tak takut akan terkena masalah
dipesantren. Hingga aku sadar, bahwa
benar apa yang telah dikatan dan diajarkan oleh kedua orang tuaku. jadi orang
harus disiplin!
Hidup seperti roda, adakalanya di atas,
adakalnya pula di bawah. Dalam kitab
Nihayatun nihayah disebutkan, bahwa hati itu laksana air yang mendidih,
sekarang berkata ini, belum tentu semenit kemudian akan berkata sama. Mulut pun
juga tak bertulang. Itulah aku, masih gampang terpengaruh dengan lingkungan.
Aku kembali kejalan semula.
Serapat apa pintu di tutup, jika ada lubang
sekecil jarum pun air akan dapat keluar. Sebesar dan seketat apapun, pasti ada
celah untuk menaklukkannya. Prinsip yang mulia untuk memulai misi rahasia.
Dengan mudah aku keluar pondok untuk menghirup sebatang rokok. Kepuasan
tersendiri bisa mengelabui penjaga pintu.
Semakin hari semakin menjadi, aku pun berada pada titi kejenuhan sebagai
pelanggar peraturan ulung.akhirnya aku memutuskan untuk benar-benar kembali ke
jalan yang benar. Kelas dua Aliyah aku bertemu dengan KH. Basyir dari Kudus, si pendekar ilmu hati. Aku
diajari berpuasa tahunan, yang biasa disebut dalail. Aku pun menuruti
saja hingga sampai aku menulis cerita ini.
Benar apa kata Mbah Basyir, siang hari aku tak akan pernah keluar untuk
merokok lagi. Hatiku juga terasa tenang, aku berubah menjadi pendiam. Begitu
pula teman-temanku yang sering melanggar, menjadi sungkan denganku.
Mungkin puasa itu adalah anugera dari yang
kuasa, mungkin juga sebuah pengiring kesuksesanku kelak. Dulu aku paling males
membaca buku, tapi karena tidak ada kegiatan lain, daripada hanya terdiam,
lebih baik membaca cerpen atupun novel.
Apalagi aku sangat terinspirasi sosok nyeleneh
Gus Miek dan Gus Dur. Sungguh dua orang yang sangat aku idamkan. Aku sadar,
ilmu tidak hanya bisa didapat di bangku sekolah atupun kuliyah. Tapi dimana
anda berada di situlah kandungan ilmu. Seperti ajaran Gus Miek, kuliyah tanpa
bangku. Inilah aku, si bodoh yang tak kunjung pandai.
Ibil Ar Rambany







.jpg)













Terimakasih atas kunjungan anda....