Tak terasa tengah malam menjelang. Pukul 00.00, hari Kamis 28 Juni 2012. Di kamarku, berdua ditemani laptop Toshiba yang sedari tadi hidup, dan seakan bertanya berulang-ulang, “kenapa kawan, kenapa tidak kau gerakkan jari-jarimu di keyboardku sebagaimana biasanya? Sudah kau buka word-ku ini, tapi pandanganmu kosong, sekosong putihnya layar word tanpa tulisan”.
Dan detak-detik jam dinding masih saja terdengar, pertanda waktu tetap saja berjalan tanpa lelah.
***
Satu kata pun belum tertulis, jangankan tertulis, terbayang saja tidak.
“Aish... begini rasanya, sudah satu semester ini tak menulis, dan memulai menulis lagi bagai merajut kembali benang-benang yang terurai, tidak semudah yang dipikirkan,” batinku setelah setengah jam berkutat di depan laptop tanpa gerak, tapi pikiran serasa bergerak melayang entah kemana, mungkin sudah berputar dunia 3 kali, banyak hal yang berkelebat, dan sekedar berkelebat bak kelelawar malam tanpa membawa hasil apapun. Pikiran tanpa arti.
Padahal sudah kulakukan ritual ngopi lelet di ‘Kek Mbun’ dekat masjid Kajen dan tak lupa rokok sukun yang berbelang-belang leletan, katanya ‘yang belang emang lebih asyik’ tak ayal banyak juga rokok berbelang di warung itu. Dan kedua hal itulah yang dulu selalu dapat membawaku dalam ektasi dunia ide tanpa batas, dan membuat jari-jari ku menari di atas keyboard. Sedangkan sekarang, entahlah, ide itu belum juga kunjung datang mengetok-ketok batok kepala.
“Kang, sampeyan yang nulis cerpen untuk Suyuthi Institute selanjutnya ya?” begitu si Aji, pimred baru itu bertanya sekitar satu bulan lalu. Dan tentu saja aku mengiyakan. Padahal sejatinya, aku sadar, namanya cerpen bagiku lebih sulit daripada artikel, karena di dalammya tercantum sejuta imajinasi tanpa batas.
Sejauh ini belum tercatat dalam sejarah hidupku menulis cerpen hanya satu malam, aku masih tidak secanggih si Burhan, anak Parmad yang katanya pernah menjuarai lomba cerpen sekolah itu.
Tapi tampaknya kali ini aku dipaksa untuk mencanggihkan diri dan mencatat sejarah baru.
“Kang, jangan lupa deadline-nya besok ya?” si pimred sore tadi mengingatkan, dan aku mengiyakan. Jadi ya sudahlah, begini jadinya. Tapi bicara tentang deadline, teringat temanku yang sekarang kuliah di UGM Jogja pernah menulis sebuah opini ringan tentang merubah kata deadline menjadi RIP (Rest In Peace),”ah, lucu juga, tapi tidak merubah batas waktu, sekedar penghalusan kata saja,” batinku menimpali.
***
Masih saja belum menulis apa-apa.
Mungkin terlalu tegang, kurang PW kata orang. Tapi semalam ini dalam posisi nyaman seringkali hanya akan mengantarku tidur tanpa sadar, bagaimanapun baiknya niatku untuk menulis cerita pendek. Seperti para pejabat yang berniat baik sebelumnya untuk memperbaiki kisah-kisah rakyat, tapi posisi nyaman ke-pejabat-an hanya membuat mereka tertidur dan lupa niat sebelumnya.
Kalau dirasa-rasa, seharusnya kegiatan mencari ide dan menuangkannya ini bisa dilakukan sore tadi, tapi menjadi selarut ini mungkin karena sifat ‘easy going, easy doing’-ku, yang menggampangkan urusan. Yang jelas, tidak mungkin aku menyalahkan sikap itu, karena ada yang lebih pantas dikambinghitamkan, “terkutuk game laptop sialan, walaupun asyik, tapi waktuku jadi terbuang-buang.” Yah begitulah, kalau politikus boleh saling menyalahkan, walau terhadap teman dekat sekalipun. Maka akupun menyalahkan game yang sebenarnya aku sukai.
Sempat terpikir untuk menyerah, tapi teringat dulu sebagai pimred, aku juga sering meminta orang lain menulis di buletin yang sama, sangat tidak menyenangkan ketika mereka menolak dengan berbagai alasan, mungkin se-tidakmenyenangkan-nya di tolak ketika menembak seseorang yang disukai, walaupun hal itu belum pernah kurasakan.
Dan sempat pula dulu berkata di forum, “menulis itu bukan sekedar bakat, tapi juga keinginan dan ketekunan, semua orang tanpa terkecuali pasti bisa menulis.” Jadi tidak lucu bukan kalau ternyata aku sendiri gagal menulis. Atau istilah dalam al-Qur’an kaburo maqtan ‘indalLah. Jadi tidak lucu bukan yang namanya dosa besar itu.
***
Masih belum ada tulisan sama sekali.
Tapi sepertinya cukup menarik menulis cerita tentang yang terjadi akhir-akhir ini di Ikamaru Jakarta, tentang ibu ketua baru itu, si Elok, yang selalu berputar-putar kesana kemari dengan sepeda ontelnya, “sebuah usaha memajukan Ikamaru Jakarta, mantap...” batinku bicara.
Atau tentang ‘bekas’ ketua periode sebelumnya itu, si Mas Arif, akan cerita keluh kesah selama memimpin dan dampaknya sekarang, “tapi sepertinya akan banyak pihak yang terkait dengan cerita nantinya, mulai subjek, objek, sampai prediketnya. Bisa panjang urusan,” pikirku.
Atau mungkin tentang ‘love story in Ikamaru Jakarta’, “huft... tapi itu melelahkan untuk dibahas, complicated, dan mungkin menjadi cerita tanpa akhir,” keluhku.
Jadi, setelah ditimbang-timbang, cerita tentang itu semua bukanlah pilihan yang bijak saat ini, bisa kapan-kapan, lagipula kalaupun ditulis akan menghabiskan banyak kata dan kalimat, melebihi kuota cerpen yang diharapkan, dengan kata lain menjadi tugas lebih bagi editor buletin ini, si Widodo, yang kerjaan menulisnya sudah setumpuk-tumpuk.
***
Kapan ini akan mulai menulis.
Melihat kembali folder ‘buatanku’ di laptop yang berisi tulisan-tulisanku selama ini, sekitar seratusan lebih. Karena situasi yang cukup runyam ini, timbul suatu kesadaran setelah melihat itu semua dalam benakku, “tampaknya tidak satupun tulisan-tulisan itu terdokumentasi proses kreatif pembuatannya, padahal maksud hati ingin melihat proses kreatif itu untuk membuat tulisan ini.”
***
Sepertinya sebentar lagi akan menulis.
Ada secercah harapan untuk menulis setelah kesadaran tadi, ada tema yang terpikirkan. Tapi untuk mengecek boleh tidaknya, harus bertanya dulu kepada ‘mbah google’.
‘c-e-r-p-e-n-spasi-a-d-a-l-a-h’ ‘search’.
Banyak pilihan yang keluar, tentu saja aku memilih wikipedia yang mudah tanpa berputar kemana-mana. Dan hasilnya.
“Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.”
Kata poin yang kudapat dari kalimat tersebut, prosa naratif fiktif, padat, langsung tujuan, tokoh, plot, tema, bahasa, dan insight.
Sebenarnya aku ingin menulis cerpen yang menceritakan ‘proses kreatif penulisan cerpen’ disini, karena sekali lagi betapa pentingnya hal itu untuk memberi kembali gambaran ketika kita kesulitan menulis cerpen. Dan dilihat dari aturan di atas semua tidak ada yang berseberangan dengan tulisan ini, kecuali dengan ‘aturan langsung tujuan’.
Tapi kata kawanku di komunitas sastra ‘senjakala’, si Kenyot Adisatva, “cerpen adalah karya sastra, dan yang namanya sastra itu bebas, karena ketika sastra terkengkang pada aturan, hanya membuat sastra yang lain tidak dianggap sastra, tentu itu tidak adil, maka bebaslah dalam bersastra, sastra yang merdeka.”
***
Mulai menulis.
“Intinya cerpen itu yang penting bercerita dan ada yang bisa ditangkap oleh pembaca, kalaupun tidak, ya tidak masalah, namanya saja bebas” pikirku.
Lantas kulihat jam di dinding kamar, pukul 04.00 pagi. “ehm, ternyata cukup tiga jam untuk mencanggihkan diri dan menoreh sejarah baru, cerpen dalam satu malam... dan yang penting bercerita.”
Cerpen pun jadi dengan cerita adanya.
(terbit di suyuthi institute)
Kajen, 28 Juni 2012, jam 4 pagi lebih sekian.
Terimakasih atas kunjungan anda....