Baru
saja saya selesai menonton sebuah film yang membuat hati saya miris. Awalnya
saya tidak begitu tertarik dengan film ini, bahkan tidak tahu tentang film ini.
Berawal dari diskusi yang diadakan beberapa minggu lalu, saya menjadi tertarik
dan pikiran saya ngeri melihat hokum rajam.
The Stoning of Soraya M.
bercerita tentang nasib malang yang menimpa seorang wanita muslim di sebuah
kota kecil bernama Kupayeh di Iran. Film ini bercerita tentang bibi Soraya yang
bernama Zahra yang berusaha untuk menyampaikan kisah tragis keponakannya pada
dunia. Zahra bertemu dengan seorang jurnalis Perancis keturunan Iran,
Freidoune, yang sedang melakukan perjalanan ke Iran.
Di tengah perjalanan,
mobilnya rusak dan harus diperbaiki di bengkel di kota tersebut. Zahra yang
dianggap gila oleh penduduk setempat kemudian meminta Fredouine, yang sedang
menunggu mobilnya diperbaiki, untuk merekam semua ucapannya.
- Zahra, bibi dari
Soraya.
Ceritapun bergulir
mengenai kisah Soraya. Di sini, diceritakan betapa Soraya sering mengalami
kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya, Ali, adalah seorang sipir
penjara yang ringan tangan dan selalu bersenang-senang dengan wanita lain. Ia
meminta Soraya untuk menceraikannya agar dapat menikah dengan gadis berusia 14
tahun.
Soraya menolak permintaan
suaminya tersebut. Ali tetap berusaha mencari cara agar berpisah dengan Soraya.
Dirinya kemudian menghasut imam kampung tersebut untuk bersekongkol dengan
dirinya untuk memfitnah Soraya.
Soraya yang bekerja pada
seorang duda beranak satu kemudian difitnah oleh suaminya sendiri bahwa dia
telah berselingkuh dengan sang duda tersebut. Untuk membuktikan bahwa Soraya
benar berselingkuh, Ali mengancam si duda untuk mengakui bahwa memang Soraya
menggoda dirinya. Jika tidak maka ia akan membuat anaknya menjadi yatim. Demi
melindungi anaknya, maka si duda terpaksa berbohong di hadapan walikota, orang
yang berhak memutuskan semua perkara.
- Ebrahim, Walikota
Kupayeh
Seluruh warga termakan
dengan hasutan Ali tidak terkecuali ayah dan kedua putra Soraya. Setelah
berunding dengan semua petinggi kota maka diputuskan bahwa Soraya terbukti
bersalah dan akan dihukum.
Menurut hukum yang
berlaku di negeri itu, jika seorang wanita terbukti berselingkuh maka
hukumannya adalah dengan dilempari batu hingga mati. Zahra yang berusaha
mati-matian membela keponakannya, tidak dapat berbuat apa-apa. “Yes,
it’s clear, all women are guilty, and all men are innocent,” kata
Zahra.
Soraya dikubur setengah
badan hingga sebatas pinggang dengan tangan diikat ke belakang. Satu persatu
orang melempari dirinya dengan batu. Soraya yang malang akhirnya tewas di
tangan para tetangga dan keluarganya sendiri.
Potret Nyata Wanita Iran
Di akhir film, Freidoune yang selesai merekam semua perkataan
Zahra kemudin menerbitkannya dalam sebuah buku dengan judul yang sama. Film ini
dibuat berdasarkan kisah nyata dari Soraya Manutcheri. Freidoune Sahebjam
adalah jurnalis pertama yang berani mengungkap kejahatan yang melibatkan
komunitas Bahá’ídi Iran. Ia juga mengungkap tentang
penggunakan anak-anak sebagai tentara secara illegal pada masa perang Iran-Irak
(1980-1988).
Namun satu hal yang tidak saya suka dari film ini adalah kurang
penggambaran mendetail tentang ciri-ciri sebuah kota muslim. Islam di sini
disimbolisasi dengan seruan Allah Akbar, wanita berhijab, ulama bersorban yang
membawa AlQuran dan tasbih, dan yang paling ditonjolkan adalah betapa Islam
agama yang keras karena dapat menghukum seorang manusia dengan mencabut
nyawanya.
Lagi-lagi film khas Hollywood yang hanya melihat Islam dari satu
sudut pandang saja. Saya tidak mengatakan bahwa orang-orang Iran ini adalah
benar dan pembuat film adalah salah. Namun, dengan hanya melihat satu sisi yang
sempit, film ini seakan memberikan penilaian bahwa Islam adalah agama yang
keras dan primitif. Saya hanya ingin mengungkapkan pendapat bahwa satu sudut
pandang saja tidak dapat dijadikan sebagai penilaian mutlak atas sesuatu hal.
Diperlukan berbagai sisi untuk menilai sesuatu itu negatif atau positif.
Namun, di sisi lain, film ini membuat air mata saya jatuh,
karena di sini digambarkan betapa wanita tidak memiliki hak dan suara untuk
membela diri. Jika dilihat dari segi kemanusiaan, jelas praktik “Stoning” ini sangat
melanggar hak asasi manusia. Sangat menyedihkan betapa fitnah dapat
membinasakan kehidupan seorang manusia. Dan yang paling penting, apa hak
kita sebagai sesama manusia untuk mengadili orang lain. Jika Allah saja Maha
Pemberi dan Maaf, apakah manusia berhak mencabut nyawa seorang manusia atas
kejahatan yang telah dilakukannya?
Ibil Ar-Rambany
Terimakasih atas kunjungan anda....