Kisah Nyata Bar'ah : Hafidzah Qur'an (Gadis 10 Tahun) Yang Memilukan
Berikut ini adalah kisah sedih gadis berumur 10 tahun yang bernama Bar`ah. Orang tua Bar’ah adalah dokter dan telah pindah ke Arab Saudi untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Pada usia ini, Bar`ah telah menghafal seluruh Al Qur’an berikut tajweednya , dia sangat cerdas hingga gurunya pernah mengatakan bahwa dia paling unggul untuk anak seusianya.
Dia hidup dalam keluarga kecil yang berkomitmen untuk Islam dan ajaran-ajarannya … . Suatu hari ibunya mulai merasa sakit perut yang parah dan setelah beberapa kali diperiksakan, diketahuilah bahwa ibu bar’ah menderita kanker, dan ternyata kanker ini sudah dalam keadaan stadium akhir/kronis.
Ibu Bar’ah berfikir untuk memberitahu putrinya, terutama jika ia terbangun suatu hari dan tidak menemukan ibunya di sampingnya … dan inilah ucapan ibu Bar’ah kepadanya “Bar`ah aku akan pergi ke surga di depanmu, tapi aku ingin kamu selalu membaca Al-Quran dan menghafalkannya setiap hari karena Ia akan menjadi pelindungmu kelak… “
Gadis kecil itu tidak benar-benar mengerti tentang apa yang ibunya beritahukan. Tapi dia mulai merasakan perubahan keadaan ibunya, terutama ketika ia mulai dipindahkan ke rumah sakit untuk waktu yang lama. Gadis kecil ini menggunakan waktu sepulang sekolahnya untuk menjenguk ibunya ke rumah sakit dan membaca Quran untuk ibunya sampai larut malam, sampai ayahnya datang dan membawanya pulang.
Suatu hari pihak rumah sakit memberitahu ayah Bar’ah melalui telpon bahwa kondisi istrinya itu sangat buruk dan ia perlu datang secepatnya, sehingga ayah Bar’ah menjemput Bar `ah dari sekolah dan langsung menuju ke rumah sakit. Ketika mereka tiba di depan rumah sakit ia meminta Bar’ah untuk tinggal di mobil … sehingga ia tidak akan shock jika ibunya meninggal dunia.
Ayah Bar’ah keluar dari mobil dengan berlinang air mata, ia menyeberang jalan untuk masuk rumah sakit. Tapi tiba-tiba datang sebuah mobil melaju kencang dan menabrak ayah Bar’ah dan ia meninggal seketika di depan putrinya itu…tak terbayangkan ..tangis gadis kecil ini pada saat itu…!
Tragedi Bar`ah belum selesai sampai di sini… setelah lima hari semenjak kematian ayahnya, akhirnya ibu Bar’ah meninggal dunia juga. Dan kini gadis kecil ini sendirian tanpa kedua orangtuanya. Dan oleh orangtua dari teman-teman sekolahnya, Bar’ah dihubungkan dengan kerabatnya di Mesir, sehingga kerabatnya bisa merawatnya.
Tak berapa lama tinggal di mesir gadis kecil Bar`ah mulai mengalami nyeri mirip dengan ibunya dan oleh keluarganya ia lalu di periksakan, dan setelah beberapa kali tes di dapati Bar’ah juga mengidap kanker … tapi sungguh mencengangkan kala ia di beritahu kalau ia menderita kanker….inilah perkataan Bar’ah kala itu: “Alhamdulillah, sekarang aku akan bertemu dengan kedua orang tuaku.”
Semua teman-teman dan keluarganya terkejut. Gadis kecil ini sedang menghadapi musibah yang bertubi-tubi dan dia tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah untuknya!…..Subhanallah….
Orang-orang mulai mendengar tentang Bar `ah dan ceritanya, dan Saudi memutuskan untuk mengurus nya … ia mengirim Bar’ah ke Inggris untuk pengobatan penyakit ini.
Salah satu saluran TV Islam (TV Al Hafiz) berhasil menghubungi gadis kecil ini dan memintanya untuk membaca Quran … dan ini adalah suara indah yang di lantunkan oleh Bar’ah …
Mereka (saluran TV Islam) berhasil menghubungi Bar’ah lagi sebelum ia dalam keadaan koma. Bar’ah berdoa untuk kedua orangtuanya dan menyanyikan sebuah Nasheed….
Hari-hari terlewati dan kanker mulai menyebar di seluruh tubuhnya, para dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya, dan ia telah bersabar dengan apa yang ditetapkan Allah baginya … tapi beberapa hari setelah operasi amputasi kakinya kanker sekarang menyebar ke otaknya, lalu oleh dokter diputuskan untuk melakukan operasi otak … dan sekarang Bar’ah berada di sebuah rumah sakit di Inggris menjalani perawatan dalam kondisi koma.
Silakan berdoa untuk Bar’ah, dan untuk saudara-saudara kita di seluruh dunia…
Video Bar’ah lainnya :
Ditulis oleh: Satu Hari, Satu Ayat Quran
TAN MALAKA
Tan Malaka atau Sutan Ibrahim
gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat,
2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun[1])
adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis,
dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan
revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan
berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan
perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang
legendaris.
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Riwayat
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan
Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke
Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial
yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah
menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang
dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember
1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan
dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir
dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.
Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.
Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
Ref : http://voiceofsubaltern.blogspot.com/2007/09/biografi-almarhum-tan-malaka-1894-1949.html
http://purwoko.staff.ugm.ac.id/web/?p=60
http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka
KH. M. ARWANI AMIN KUDUS
KH. M. Arwani Amin Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai
Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota
Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota
yang kharismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di
antara sekian banyak ulama di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang
menjadi tauladan bagi masyarakat adalah beliau al-Maghfurlah KH. M.
Arwani Amin.
Sekitar lebih 100 meter di sebelah
selatan Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan, dulu
tersebutlah pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an.
Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin
Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri,
karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko
kitab al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka
tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H.
Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat
gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga
dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang
dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an
sekalipun.
Kelahiran KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arawani Amin Said dilahirkan pada
hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan
dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa Tengah.
Ayah beliau bernama H. Amin Said dan ibunya bernama Hj.Wanifah.
Sebenarnya nama asli beliau adalah Arwan,
akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama namanya
diganti menjadi Arwani. Dan hingga wafat beliau dikenal memiliki nama
lengkap sebagai KH. M. Arawani Amin Said dan panggilan akrabnya adalah
Mbah Arwani Kudus.
Arwan adalah anak kedua dari 12
bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang perempuan bernama Muzainah.
Sementara adik-adiknya secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah, H.
Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah,
Muflikhak dan Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling menonjol,
yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an.
Dari sekian saudara KH. M. Arwani Amin,
yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad
Da’in. Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius,
karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwan
yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan
menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in
inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih
tekun belajar.
Arwan kecil hidup di lingkungan yang
sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu
ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya
dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang juga ulama besar Pangeran
Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin
Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said
adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat
disekitar beliau tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak hafal
al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau dikenal sebagai rumah al-Qur’an,
karena setiap pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.
Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul
Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M dimana pada saat itu status
beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawir Krapyak
Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang
kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan semakin berkembang. Beliau
memiliki empat orang anak yaitu Ummi dan Zukhali Uliya (meninggal saat
masih bayi) serta KH. M. A. Ulin Nuha Arwani dan KH. M. A. Ulil Albab
Arwani.
Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak
kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren.
Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin,
Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini
sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada
di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah
satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH.
Abdullah Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa,
akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai
pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan
sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke
pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya
menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M.
Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam
Haramain (Kudus), KH. Ridhwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), KH. M. Munawir (Yogyakarta) dan lain-lain.
5. Kepribadian KH. M. Arwani Amin Said
Selama berkelana mencari ilmu baik di
Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. M.
Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena
kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya
yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani Amin sering
dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu
memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau hidup di lingkungan masyarakat
santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan agama. Oleh
karena itu wajar saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang memiliki
perangai halus, sangat berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai
solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan suka mengalah tapi tegas
dalam memegang prinsip.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat
yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk
menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari
39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota
yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke
Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren
al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Solo.
Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun
melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang
kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad.
Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud.
Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul
Khud ini, KH. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri
pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua
putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua
putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. M. Arwani Amin dalam
mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah
KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak,
dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad
Manshur. Salah satu khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan
sebagai anak angkatnya.
6. Perjuangan KH. M. Arwani Amin Said
Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali
sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus yaitu setamat beliau nyantri
dari pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini
santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring
berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah
banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal
dari luar propinsi bahkan dari luar pulau Jawa. Kemudian beliau
membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang
berarti Sumber al-Quran. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393
H/1979 M.
KH. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidh al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at.
Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan
Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat kegiatannya bertempat di
mesjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling
cukup sepi dan sejuk. Disamping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai
Gelis yang airnya jernih untuk membantu penyediaan air untuk para
peserta kholwat. KH. M. Arwani amin juga pernah menjadi pimpinan
Jam’iyah Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan oleh para kyai
pada tanggal 10 Oktobrr 1957 M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang
nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl ath-Thariqat al-Mu’tabarah
an-Nahdliyyah (JATMAN).
7. Kelebihan KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai
seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan
sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun
dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak
berada di pesantren.
Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada
KH. Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00
dinihari sampai menjelang Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00
malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau manfaatkan
untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap
berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00
WIB dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat
sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira
selama satu sampai dua jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan
sholat dan dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila dikalkulasi
beliau hanya tidur dua sampai tiga jam setiap malamnya
KH. M. Arwani Amin Said dikenal oleh
msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan
yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang
wali,beberapa santrinya mengatakan bahwa KH.Arwani Amin memiliki indra
keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak
terlihat.
Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi,
kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya
yang senang membaca al-Qur’an. Dimana orangtuanya selalu menghatamkan
membaca al-Qur’an meski tidak hafal.
Selain barokah orantuanya yang cinta
kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus
akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke
berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.
Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu
disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan
kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim
Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu.
Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada
KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat
menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari,
karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya
berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani
menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri
dari H. Abdul Hamid bin KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada
hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.
8. Anak Didik KH. M. Arwani Amin Said
Ribuan murid telah lahir dari pondok yang
dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari mereka yang menjadi
ulama dan tokoh. Sebut saja diantara murid-murid KH. M. Arwani Amin yang
menjadi ulama adalah:
1) KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) KH. Hisyam (Kudus)
3) KH. Abdullah Salam (Kajen)
4) KH. Muhammad Manshur
5) KH. Muharror Ali (Blora)
6) KH. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) KH. Nawawi (Bantul)
8) KH. Marwan (Mranggen)
9) KH. A. Hafidz (Mojokerto)
10) KH. Abdullah Umar (Semarang)
11) KH. Hasan Mangli (Magelang)
9. KH. M. Arwani Amin Said Berpulang ke Rahmatullah
Dengan keharuman namanya dan berbagai
pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya,
beliu wafat pada taggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau bertepatan
dengan tanggal 1 Oktober tahun 1994 M dalam usia 92 tahun (dalam
hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul
Qur’an Kudus.
sumber: Kumpulan Biografi Ulama
ABUYA DIMYATI BANTEN
Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.
Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.
Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”.
Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.
Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”.
Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun nama keluarga Malak ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun di Timur.
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan (Rahman, 2003: 41).
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman (Rahman, 1992: 59). Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam (A’la, 2003: 34).
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir (A’la, 2003: 34).
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal (1996: 80), ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya.
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk melanjutkan studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu pendidikan di India ketika itu sangat rendah. Dibawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu (Sutrisno, 2006: 62). Penguasaan pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur.
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat (Rahman, 1992: 60).
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah (Rahman, 1992: 63).
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. (Rahman, 2003: 33). Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal (1994: 14-15), kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan (A’la, 2003: 40).
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara (Wan Daud, 1991: 108). Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman untuk terus berkarya pun ditandai oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit beliau makin parah dengan dibantu oleh puteranya. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.
Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karya
Pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga fase atau periode, yakni periode awal, periode Pakistan, dan periode Chicago. Periode pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada periode ini Rahman hanya menghasilkan karya-karya yang besifat historis, seperti Avicenna’s Psycology (1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat jelas concern pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian yang dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw (Amal, 1996: 116).
Periode Pakistan merupakan tahapan kedua dari perkembangan pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar dekade 60-an. Berbeda dengan periode pertama yang cenderung pada kajian historis dari pemikiran Islam, concern Rahman pada periode ini mengalami perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian Islam normatif. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern pemikiran Rahman ini ialah.
1. Adanya kontroversi yang akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu,
2. Kontak yang intens dengan Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya pada hakikat tantangan Islam pada periode modern,
3. Posisi penting sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis (Sutrisno, 2006: 71-72).
Walaupun belum ditopang oleh metodologi yang sistematis, pada periode ini Rahman sudah mulai melakukan kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam (Sibawaihi, 2007: 21). Selain itu, Rahman terlibat pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab tantangan-tantangan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer dengan cara merumuskan kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman dicurahkan dalam memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran Islam dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada jurnal Islamic Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963. Menurut Açikgenç (dalam Saleh 2007: 27), sebenarnya pada periode kedua ini Rahman sudah berkeinginan mengembangkan metodologi yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Hadis.
Mutiara-mutiara pemikiran yang berhasil dihasilkan oleh Rahman pada periode ini diantaranya Islamic Methodology in History (1965), dan Islam (1966). Buku yang disebut pertama merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya yang dipublikasikan di jurnal Islamic Studies. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis dengan bertujuan untuk memperlihatkan, pertama, evolusi historis dari aplikasi keempat prinisp pokok pemikiran Islam, yakni Alquran, Sunnah, ijtihad, ijma’. Kedua, perranan aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan Islam (Rahman, 1995: ix).
Buku kedua Rahman yang lahir pada peridoe kedua ini ialah berjudul Islam. Buku ini memaparkan perkembangan umum agama Islam selama empat belas abad, oleh karena itu menjadi wajar ketika buku ini menjadi dasar pengantar umum tentang studia Islam. Dua buah artikel pertama yang tersusun dalam buku ini , yakni artikel yang berjudul Muhammad dan Alquran, ketika dipublikasikan di Pakistan sempat menuai pelbagai kontroversi. Kontroversi terjadi berkenaan padangan Rahman mengenai hakikat Alquran dan proses pewahyuannya kepada Muhammad saw. Rahman memandang bahwa Alquran secara keseluruhannya adalah kalam Allah swt. dan dalam artian biasa merupakan perkataan Muhammad saw (Rahman, 2003: 33). Adapaun tulisan-tulisan Rahman yang difokuskan untuk memberi definisi Islam di Pakistan diantaranya ialah Some Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan, Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milieu, dan The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems.
Perkembangan dan periode pemikiran Fazlur Rahman berikutnya ialah periode Chicago yang terhitung dari kepindahannya ke Chicago. Seluruh karya Rahman yang dihasilkan pada periode ini mencakup kajian Islam historis dan normatif. Adapun karya-karya yang berhasil ia hasilkan pada periode ini diantaranya The Philosophy of Mulla Shadra, Major Themes of The Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, dan Health and Medicine in Islamic Tradition.
Buku yang pertama penulis sebut di atas murni merupakan karya yang bertemakan Islam historis dan tidak memiliki hubungan dalam kajian-kajian Islam normatif. Sedangkan buku kedua karya Rahman pada periode kedua ini membahas mengenai delapan tema pokok Alquran, yakni Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, serta Lahirnya Masyarakat Muslim. Buku yang kerap kali disebut sebagai magum opus Fazlur Rahman ini mengkaji pelbagai ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan tema-tema yang telah disebut sebelumnya dan kemudian ditafsirkan dengan cara menghubungkan ayat-ayat tersebut. Selain itu, buku karya Rahman ini merupakan sikap atau tanggapannya atas pelabagai buku atau tulisan yang dibuat oleh para orientalis (seperti Richard Bell, Montgomery Watt, John Wansbrough, dal lain sebagainya) yang kerap kali menghubungkan atau beranggapan bahwa Alquran merupakan kelanjutan atau terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang pernah ada sebelumya (seperti Yahudi dan Nasrani). Melalui karya ini, Rahman berhasil membangun landasan filosofis yang terga untuk perenungan kembali makna dan pesan Alquran bagi kaum Muslim kontemporer.
Buku berikutnya yang Rahman hasilkan pada periode Chicago ini ialah Islam and Modernity:
Transformation of an Intelectual Tradition. Buku ini sangat jelas memperlihatkan intensitas Rahman dalam menata masa depan Islam dan umatnya. Dengan demikian, buku ini tidak melulu membahas Islam historis yang tidak memberikan solusi kongkrit bagi pembangunan umat Islam dan bekal untuk umat Islam dalam menghadapi periode modern. Berikutnya ialah buku yang berjudul Helath and Medicine in Islamic Tradition, buku ini berusaha menangkap kaitan organis antara Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia.
Setelah mengkaji perkembangan pemikiran Rahman yang didasarkan pada buku-buku yang ia hasilkan sepanjang karir intelektualitasnya, maka dapat dikatakan bahwa Rahman mengalami perubahan concern pemikiran serta kajiannya. Perubahan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kesadaran Rahman bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam Islam sejarah, pengaruh-pengaruh Barat dengan tantangan-tantangan modernitasnya, kemudian membuatnya berupaya membuat atau merumuskan soluai terhadap krisis tersebut (Amal, 1996: 148-149).
Secara keseluruhan buku-buku yang Rahman hasilkan berjumlah sepuluh buah. Namun demikian, bukan berarti bahwa Fazlur Rahman hanya menghasilkan buku-buku an sich. Sepanjang karir intelektualitasnya, doctor lulusan Oxford University tersebut menulis pelbagai artikel di beberapa jurnal ilmiah dan sebagian dari artikel-artikel tersebut dikumpulkan menjadi beberapa buku. Adapun buku-buku yang dihasilkan olehnya ialah sebagai berikut.
- Avicenna’s Psycology
- Propecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy
- Avicennas’s De Anima, being the Psycological Part of Kitab al Shifa
- The Philosophy of Mulla Shadra
- Islamic Methodology in History
- Islam
- Major Times of the Qur’an
- Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition
- Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism
- Health and Medicine in Islamic Tradition GHOST
SYAIKH IHSAN JAMPES
Ulama Dari KediriSyaikh
Ihsan lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH.
Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang
kiai yang tersohor pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok
Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.
Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur
ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny.
Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari
jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh,
seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih
mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syarif
Hidayatullah) Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh
Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah
ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada
diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny.
Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama
sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya
diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan
Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny.
Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur
dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes.
Ny. Isti’anah dan KH. Saleh-Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun
ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian
itu, Bakri kecil tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH.
Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal
memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang
berupa kiatab-kitab agama maupun bidang lain, termasuk majalah dan
Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah kesukaannya menonton
wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri kecil akan
mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah
pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham
benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur
dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng
dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah
kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang
judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat kapok para penjudi
dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa perbuatan Bakri
tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny. Isti’anah yang
merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari
mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda
di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan
segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K.
Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan
kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun
bersikap tegas. Ia mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri
hingga hancur berantakan. Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran
Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri, merenung makna
keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren
ayahnya untuk melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke
pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri
diantaranya:
Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
Pondok Pesantren Jamseran Solo,
Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
Pondok Pesantren Punduh Magelang
Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Pondok Pesantren Jamseran Solo,
Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
Pondok Pesantren Punduh Magelang
Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak
pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut.
Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia
hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan
Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di
Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia
selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut
dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu
‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai);
tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH.
Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga
santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta
ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah
pesantren lain.
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya
diganti menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang
ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan
PP Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama
kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya
selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka rela kepemimpinan Pesantren
Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal
sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh
Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah
santri terus bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150
santri menjadi ± 1000 santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga
memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara kualitas, materi pelajaran juga
semakin terkonsep dan terjadwal dengan didirikannya Madrasah Mafatihul
Huda pada 1942.
Sebagai seorang kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian,
pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan
pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan
intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam,
muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya
didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak melupakan
masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan menguasai
ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar
santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah
yang meminta bantuannya.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting
dalam perjuangan bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para
pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda; di
Pesantren Jampes ini, mereka meminta doa restu Syaikh Ihsan sebelum
melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syaikh Ihsan turut
mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika
desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang
mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara
Syaikh Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
[B]Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan
[/B]Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
[/B]Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya
dalam berdakwah melalui pesantren adalah: (1) Kiai Soim pengasuh
pesantren di Tangir Tuban; (2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH.
Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH. Busyairi di Sampang Madura; (5)
K. Hambili di Plumbon Cirebon; (6) K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang
ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam
seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman
karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya masterpiecenya, siraj ath-Thalibin,
terutama ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di
Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di antara kitab-kitab
karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah didapat.
Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
- Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
- Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
- Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
- Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik \[plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hukum merokok dan minum kopi.
KH.MAKSUM JAUHARI (GUS MAKSUM SANG PENDEKAR)
Gus
Maksum adalah seorang Kyai yang menjadi teladan bagi santri pondok pesantren
Lirboyo Kediri. Beliau adalah seorang Kyai yang mumpuni dalam bidang pencak
silat. Semasa hidupnya, beliau sangat mencintai olah raga pencak silat sehingga
beliau di samping di kenal sebagai seorang Kyai tetapi beliau juga dikenal
sebagai seorang yang sakti mandraguna, bahkan nama beliau hingga saat ini masih
tetap harum di dalam dunia Persilatan.
Kehidupan
beliau memang selalu identik dengan dunia persilatan, pastinya kita tidak asing
lagi dengan nama “ PAGAR NUSA ” yaitu ikatan pencak silat Nahdlatul
Ulama yang dididirikan pada tanggal 3 januari 1986 di pondok pesantren Lirboyo
oleh para kyai-kyia NU dan sekaligus mengukuhkan Gus Ma’sum sebagai ketua.
Gus
Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, beliau
adalah salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul
Karim. Semasa kecil beliau belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di
Kanigoro. Menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah Lirboyo. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai
daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan.
Beliau
berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati
lutut, selalu memakai Terompah (bakiak). Lalu, seperti kebiasaan orang-orang
“jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot.
Beliau suka memelihara binatang yang tidak umum. Misalnya beliau memelihara
beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera,
orangutan dan sejenisnya namun kali ini hewan peliharaan Gus Maksum yang
tersisa saat ini tinggal Buaya dan burung Kasuari.
Dikalangan
masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan
dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), punya
kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun,
mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan
seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah
sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan
kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum
cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren
melalui PAGAR NUSA.
Sebagai
jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” (PAGAR NUSA) Gus Maksum selalu
sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, Namun dirinya tidak pernah mau
menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Gus Maksum wafat di Kanigoro
pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren
Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.
Kharisma
Gus Maksum masih dirasakan oleh banyak orang, terutama warga Kediri, Jawa
Timur, terkhusus aggota perguruan Pagar Nusa. Meski almarhum sudah pergi
menghadapIlahi lima tahun silam, namun tak membuat para santrinya merasa
kehilangan panutan. Kini Kyai yang dikenal punya banyak ilmu kejadugan
(kanoragan, Red) itu terasa hadir dalam banyak kerumunan santri yang selalu
merindukan seorang panutan sebagai mana Gus Ma’sum.
SEJARAH
RINGKAS CIMANDE
Semua
komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua
mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb.
Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great
Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu
berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering
diperdebatkan, yaitu:
1.
Versi Pertama
Ini
adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah
Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini,
Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang
pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan
antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan
tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu
yang berharga.
Suatu
waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya
ada di rumah... padahal saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan
kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan
menunggu... sampai merasa jengkel dan khawatir... jengkel karena perut lapar
belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum
datang juga.
Akhirnya
tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir... yang ada
tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya... "ti mana
maneh?" (Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab,
melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa
menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini
membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul... tetapi semakin
mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini
terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan menyadari kekhilafannya...
dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus "ti mana anjeun teh Nyi?
Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?" (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu
bisa "Main"?).
Akhirnya
istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci
dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah
satu monyet memegang ranting pohon.) Saking indahnya perkelahian itu
sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia
mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya
baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu
mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet
sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah
pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang
ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di
pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang
tengah malam.
Apa
yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia
dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga,
Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang
mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat
akan lupa. Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua
gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa
beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau
membangun reputasinya di dunia persilatan. Jurus yang dilatih:
1. Jurus
Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang "black
magic" dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi
panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja
dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus
Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan
jurus ini, dianggap punah. Kabarnya di Tasikmalaya di sana masih diajarkan,
semoga Guru mereka diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti
sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus
Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita
di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan
Timur dan Cianjur Selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik
adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar
Maenpo Cimande selalu menjawab "ti indung" (dari ibu), karena memang
mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu
perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada
anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan
kepada Abah Khaer.
Perkembangannya
Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama
dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang
sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 - awal
1900),Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai
Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai
Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
GHOST