Azan isya berkumandang , saatnya
menutup kembali lembaran-lembaran suci yang telah terlantun. Setelah sholat
isya Fafa bersiap ke masjid untuk melaksanakan kegiatan rutin malam Jum’atnya,
melantunkan puji-pujian kepada nabi bersama teman remaja lainnya. Entah kenapa,
sesampainya di masjid, Fafa tak mendapati teman-teman yang biasanya sudah
berkumpul sebelum ia datang. Hanya ada Tia, dan beberapa menit kemudian Habib
bersama teman-teman yang lain menyusul dari belakang.
Usai kegiatan berjanjenan beberapa
orang termasuk Fafa masih tertinggal di masjid, mereka membarsihkan dan
merapihkan keadaan masjid yang semapat tak enak dipandang mata.
Habib: “Fafa.., (panggil Habib
pelan)”
Fafa: “Iya Bib ada apa?”
Habib: “Ini ada oleh-oleh dari
Lombok kemaren (sambil menyodorkan kotak dalam plastik kecil)”
Fafa: “Terimakasih (sambil
menerima pemberian Habib)
“Ehem,,,
ehem,,,” goda Tia yang tengah sibuk
memainkan ponselnya.
Sesampai di rumah, Fafa pun
membuka plastik pemberian Habib. Mata Fafa sedikit melotot ketika mendapati isi
dalam plastik tersebut, sebuah kotak kecil yang belum diketahui isinya.
Sesegera mungkin, tangan Fafa membuka kotak kecil yang ternyata berisi bros
berbentuk love berhias bunga berwarna pink. Tak sadar Fafa sempat menyimpulkan
senyum paling manisnya. Setelah puas memandang isi kotak tersebut, mata Fafa
kembali fokus dengan kertas kecil yang ternyata masih menyempil dalam kotak. Ia
letakkan bros barunya, kemudian membuka perlahan kertas wangi itu.
“Pada
dasarnya bunga itu indah, namun…akan tampak lebih indah jika ada satu hati yang
mendampinginya, karna adanya hati itu akan menjaganya hingga tak ada lagi kumbang yang berani mencuri kemanisan madu yang
tersimpan padanya. Maafkan aku yang telah membiarkan
tangan ini mengukirkan isi hatiku, walau banyak hati yang menengadah
mendambakan hatimu, namun aku yakin bahwa aku diciptakan tuk menjagamu. Aku tau
prinsipmu untuk tidak berpacaran
dan menerima khitbah setelah selesai skripsi. Dan aku hanya ingin engkau tau bahwa aku kan setia menunggumu.”
Habib adalah remaja yang
aktif, selain sibuk kuliah, ia juga menyempatkan diri untuk menafkahi dirinya
sendiri. Dia juga banyak pengetahuan tentang ke-Islam-an, bahkan terkadang dia
berceramah menggantikan ustaz yang berhalangan hadir walaupun dia mahasiswa manajemen,
tapi aku tidak bisa merubah statusku, hanya sebatas teman. Meski ini yang kedua
kali ia lontarkan, aku tak mau membagi hatiku untuk orang yang telah diciptakan
untukku. (Pikir Fafa dalam hati)
Satu bulan berikutnya
Pagi-pagi buta HP Fafa
berdering, ia tampak tak mempedulikan hal itu, mulutnya masih saja melantunkan
ayat-ayat suci. Namun, matanya tak tahan untuk menengok siapa yang mengirimkan
pesan itu. Habib, sontak ia menghentikan tadarusnya,dan segera
membukanya.
Ass….
Besok aku wisuda, hadir ya…
Iya
insyaallah (balas
Fafa singkat)
Besoknya Fafa pun datang
bersama anak remaja masjid yang lain. Ia ikut hanyut dalam hari kemenang Habib.
Lelaki yang pernah menyatakan perasaannya kepada Fafa.
***
Habib, hanya kata itu yang
masih terukir dalam benak Fafa. Laki-laki yang pernah mempunyai keinginan untuk
menyandingkan hatinya bersama hati Fafa. Mata Fafa sekarang tak lagi melihat
sosok Habib, lelaki yang diam-diam ia kagumi. Delapan bulan lamanya, hanya
pesan singkat untuk sekadar berkirim kabar ia lakukan bersama Habib, sebuah
kemakluman, saat ini Habib tengah menjalani hidup di Balik Papan, kota yang
sangat jauh dari tempat tinggal Fafa.
Laksana baju yang terpakai
bertahun-tahun lamanya, hubungan Fafa dan Habib semakin luntur ditelan waktu.
Fafa tak lagi mendengar kabar lelaki di seberang, entah apa gerangan yang
menyebabkannya. Fafa pun merasa enggan untuk memulai mengirimkan sebuah pesan
singkat. Sebenarnya ia merindu akan suara merdu Habib tatkala melantunkan
shalawat. Namun, ia cepat-cepat mengubur dalam-dalam rasa yang sedikit demi
sedikit menyayat hati kecilnya, oh Habib.
Hari demi hari, keistiqomahan
Fafa menjadi remaja masjid sedikit terganggu dengan kegiatan barunya, meyusun
skripsi. Maklum saja, Fafa ingin segera membanggakan kedua orang tuanya.
Fafa melangkahkan kaki
mungilnya menapaki jalan kecil yang menuju fakultasnya. Di tengah perjalanan
tiba langkahnya terhenti oleh suara yang tidak begitu asing di telinganya.
“Hai Fa”
suara Faiz yang ternyata
teman satu jurusannya, Tafsir Hadis.
Fafa : “Eh Faiz, ada
apa?”
Faiz: “Ini ada titipan”
Fafa: “Dari siapa?”
Faiz: “Dari Habib”
Fafa: “Habib…???” sontak Fafa
kaget mendengarnya.
Faiz: “Habib anak masjid!”
Fafa: “kok bisa sampai
ke kamu?”
Faiz: “Kemarin pas aku qori’
di Palembang ketemu dia, terus malemnya pas aku mau pulang dia nitip ini untuk
kamu.” Kata Faiz sambil menyodorkan bingkisan yang terbalut kertas.
Fafa: “ oo…. gitu,
makasih banyak ya Iz”
Faiz:” Iya Fa, sama-sama.
Fafa: “Udah dulu ya,
soalnya aku ada janji sama dosen, Assalamu’alaikum.”
Faiz: “Wa’alaikum salam, eh..
HPnya Habib yang dulu hilang makanya dia tak pernah hubungin kamu, tapi
nomernya yg baru udah aku save kok. Ntar aku smsin deh.
Fafa: “Iya makasih” (jawabnya
sambil berlalu).
Rembulan pun tampak tersenyum
melihat jari Fafa yang sibuk memijit keyboardnya. Fafa tampak serius
mengerjakan skripsi. Namun di tengah keseriusannya tersebut, titipan yang
diberikan Faiz tempo siang tadi sempat memecahkan konsentrasi Fafa. Sontak
tangannya tertuntun untuk merenguh bingkisan yang sedari tadi diam seribu kata.
Sebuah kerudung yang mengisi kotak kecil itu, ia kibaskan kerudung manis
tersebut, dengan harapan secarik kertas terjatuh. Muka Fafa sedikit terlihat
kecewa tatkala secarik kertas yang ia dampakan tak ditemui. Lantas ia segera
membuka ponsel, tapi nomor yang dijanjikan Faiz belum juga mengis inboxnya.
Fafa tersenyum dalam harapan.
Pagi harinya ketika Fafa
ingin berkunjung ke perpustakaan ia
kembali bertemu Faiz di jalan. Belum sempat ia menyapa terlebih dahulu,
Faiz mendekat sambil menyimpulkan senyum. Faiz membuka percakapan dengan kata
maaf karena belum memberikan nomor Habib kepada Fafa. Sebenarnya Fafa berharap
hari itu juga ia bisa mendapatkan nomornya Faiz, namun harapan itu tak terjawab
ketika Faiz mengaku kalau HPnya hilang entah kenapa.
Rasa kecewa dan prihatin
tampak tak begitu jelas di wajah Fafa. Di satu sisi ia kecewa karena tidak
mendapatkan nomornya Habib, di satu sisi juga ia merasa iba dengan musibah yang
menimpa Faiz. Fafa takut kalau-kalau Faiz bisa membaca semburat yang timbul di
wajahnya, sesegera mungkin ia pamit dan menuju perpustakaan.
***
7 bulan
terlewati, skripsi Fafa hampir selesai.semasa 7 bulan ini ada 3 hati yang menyatakan suka dengannya, namun dia
tetap teguh pada apa yang telah menjadi prinsipnya. Sejujurnya ia tidak bia
begitu saja melupakan sosok Habib, pria yang diam-diam telah melekat pada
dirinya.
Semakin
lama, Fafa semakin tersiksa dengan perasaan rindu yang tengah terpatri dalam
hatinya. Habib, nama itu selalu ada di setiap gerak dan hembusan nafasnya. Di
setiap jeda waktu istirahatnya ia sering berhayal, Habib datang dengan kedua
orang tuanya untuk mengutarakan maksud mengkhitbah dirinya. Saat ini matanya
dipenuhi mentari senja yang tampak akan kembali ke peraduannya, jendela rapuh
itu tak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba menetes dari mata sayu Fafa.
“Fafa….”
Suara ibunya menghancurkan khayalan Fafa. Belum sempat iya menimpali panggilan
itu, pintu kamar Fafa terbuka, beberapa saat kemudian ibunya muncul dengan
amplop coklat di tangannya. Fafa hanya terdiam, seakan sudah terbiasa dengan
amplop yang serupa. “Paling juga surat undangan diskusi,” batinnya.
Ketika
ibunya kembali keluar kamar, Fafa pun kembali larut dalam khayalannya, begitu
juga mentari, ikut-ikutan kembali dalam peraduannya. Azan magrib berkumandang, Fafa segera
meninggalkan hanyalannya untuk kembali ke dunia nyata. Amplop coklat yang
ditinggalkan ibunya tadi sedikit menyita perhatiannya, amplop itu terbalik,
dengan jelas ia menangkap ejaan nama pengirimnya, HABIB, dengan cekatan
tangannya segera merengkuh dan membuka amplop coklat tersebut. Ia menangis
takkaruan ketika membaca isi surat tersebut, Fafa menagis dalam deburan suara
azan.
***
Fafa
tampak bersiap-siap, pakaian terbaikknya ia kenakan, tak ketinggalan kerudung
dan bros yang diperolehnya dari Habib. ia tampak cantik hari itu. Hari ini ia
akan mendatangi pernikahan sahabatnya, yang surat undangannya ia terima tempo
hari, surat yang membuat hatinya hancur berkeping-keping, surat yang membuat
khayalannya selama ini terbang dibawa angina begitu saja. Hari ini seorang yang
sering ia dambakan untuk menjadi imam di setiap derap langkahnya tinggallah
sebuah sejarah, sejarah khayalan pilu.
Terasa
berat sekali langkah Fafa, tak tahu apa sebabnya, hatinya berteriak kencang tak
terima dengan pernikahan Habib. badannya bergetar, pikirannya terbang dengan
ingatannya beberapa tahun silam, di mana ia bersholawat bareng, saat Habib
menyatakan perasaan, dan ketika kerudung yang tiba-tiba datang menghampirinya,
lengkap dengan bros cantik yang menemani. Kini, hanyalah tinggal sebuah
kenangan semu, kenangan yang menyayat, kenagan yang menjadikan sembilu di
sanubari Fafa.
Ia
senyum dalam kehancuran perasaannya tatkala melihat Habib bersama istrinya
duduk di atas pelaminan. Tiba-tiba dalam keadaan yang demikian, ada seorang
laki-laki yang lebih tua tiga tahun dari umurnya saat ini yang memanggilnya
dari belakang. Ia pun kaget bercampur tidak tahu tatkala mendapati muka yang
tidak begitu asing baginya. Setelah bercakap-cakap lumayan lama ia baru
tersadar, kalau laki-laki itu adalah Firman, seorang mayoret saat ia masih
menempuh pelajaran di Raudlatul Ulum.
Ia
sedikit tersipu malu ketika Firman mengingatkan bahwa dirinya pernah meminta
foto bareng ketika ada Pekan Olah Raga dan Seni di Kabupaten Pati. Semakin lama
berbincang dengan Firman, Fafa tak sadar jika sakit hatinya semakin tak
dirasakan, seakan mendapat angina segar yang selama ini tak kunjung
menjumpainya. Diam-diam ia takjub juga dengan cerita Firman, tujuh bulan kuliah
di Al Azhar, dan saat ini tengah menempuh perkuliahan di kedokteran UI,
tampaknya semakin membuat candu kepada Fafa untuk terus menyimak pengalaman
sang idolanya dulu. Betapa semakin malunya Fafa, saat Firman menunjuk kerudung
yang tengah dipakainya, tak dinyana, kerudung yang tengah membalut kepalanya
itu adalah pilihan Firman.
Tuhan
selalu menyertakan sakit dengan obat, sakit hati yang diderita Fafa hilang
dengan obat yang dijelmakan Tuhan sebagai sosok Firman. Waktu terus berjalan,
begitu juga hubungan Fafa dan Firman, semakin lama semakin membandrol sebuah
status, sebuah status pilihan Fafa untuk menerima Firman menjadi imam dalam
menjalani bahtera kehidupannya. Kerudung yang dulu didapatnya dari Habib memang
murni pemberian Habib, namun hati yang terkandung di dalamnya adalah hati
Firman, hati yang diberikan lewat bros mungilnya, kini hati yang cacat itu kembali
semurna, dan bersanding hingga hari tua.
Laily
Fathiya
Mantabbbbbb ceritanya seperti cerita non-fiksi diberi bumbu fiksi
BalasHapusTerimakasih atas kunjungan anda....