Tentunya
tak jarang telinga kita mendengar tawa seseorang. Setiap orang mempunyai gaya
tertawa yang berbeda-beda. Tergantung tempat dan genre apa yang dianutnya.
Selain itu, sebab tertawanya pun juga  berbeda, kembali keorangnya masing-masing.
Diakui
atau tidak, kalimat di atas sangat mbulet-mbulet (membingungkan) atau
malah cenderung tidak bisa dipahami. Sebenarnya tak ada maksud untuk menuliskan
hal tersebut, tapi aku juga tidak tahu kenapa paragraf di atas bisa terpasang
menjadi pembuka tulisan ini. Entahlah.
Saya
menyarankan dua paragaraf di atas jangan dibaca, karena tidak terlalu penting
dan tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan kali ini. Namun, jika memang
terlanjur sudah dibaca, jangan sesekali menyesali perbuatan mulia Anda
tersebut. Toh, tulisan ini ada di depan Anda memang dimaksudkan untuk
dibaca. Hehehe.
Jika
saya boleh menebak. Ketika Anda sampai di paragraf ini, mungkin Anda sedikit
bertanya-tanya. Apa sebenarnya maksud tulisan ini? Nah, karena saya umat Islam
yang wajib berbaik hati kepada sesama, saya akan menjawab pertanyaan Anda
tersebut. Maksud tulisan ini adalah “tidak ada maksud”, dan seharusnya Anda
tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan hal tersebut. 
Rasanya
kok dari tadi bertele-tele. Oke, mulai detik ini saya akan sungguh-sungguh
masuk dalam pembahasan yang serius. Tolong diperhatikan dan baca dengan serius
cerita ini, karena ini adalah pembahasan yang serius. Jangan lewatkan satu kata
pun. Saya tidak ingin Anda gelo (menyesal) karena ketinggalan barang
satu kata pun.
Tadi
malam, saya dan beberapa kawan yang lain ditugasi Rahmat Kamaruddin untuk
menulis tentang hal yang bisa membuat ketawa.  Sebenarnya banyak sekali hal-hal disekeliling
saya yang bisa memancing tawa. Namun, saya akan mencoba menyebutkan dan
menguraikan beberapa saja, yang memang benar-benar bisa membuatku ketawa lalu
salto sambil mbedol Monas sambil bilang wawu.  
Yang
pertama dan yang paling membuat diri saya tertawa jingkrak-jingkrak adalah
ketika –maaf— Bang Raka (nama samara) mengeluarkan ucapan ampuhnya, “Doo,
Doo, aduh piye iki Do.” Ketika ia mengeluarkan jurus ampuhnya tersebut,
bisa dipastikan semua yang mengisi sekret akan tertawa. Kalau misalkan Anda
tidak percaya, silahkan berkenalan dengannya kemudian suruh dia berbicara
seperti itu. Saya jamin Anda akan ikut-ikutan mbedol Monas.
Yang
kedua saya mempunyai teman, sebut saja Jembit. Saya tidak enak jika harus
menyebutkan nama aslinya, mengingat dia mempunyai temperamental yang bisa
membahayakan spesies lain di sekelilingnya. Kebetulan makhluk yang satu ini
adalah teman satu kos saya sendiri. Orangnya idealis, keras kepala, dan tidak
mau kalah jika tidak dikeroyok beramai-ramai. 
Jika
Bang Raka bisa membuat terpingkal-pingkal dengan logat Jawa mubetnya,
sedangkan Jembit bisa meledakkan tawa seseorang dengan celananya. Ceritanya
seperti  ini. Dulu sebelum pindah sekamar
dengan saya dan beberapa teman yang lain. Ia sempat nyantri di Bogor, entah di
mana tepatnya. Karena, menurutnya, ajaran di pesantren tersebut berseberangan dengan
pemahamannya. Ia memutuskan untuk keluar dari pesantren secara diam-diam. Tanpa
sepengetahuan kiai dan kedua orang tuanya. Lantas ia memilih tinggal bersama
kami hingga saat ini.
Sebenarnya
saya juga belum begitu kenal Jembit. Hanya sebatas tahu saja kalau dahulu ia
pernah nyantri sebagai santri kalong, santri yang tidak bermukim di
pesantren. Jembit, orang idealis ini memang berkelakuan aneh bin ajaib.
Bagaimana tidak aneh, ia mempunyai celana yang dibuat dari kain sarung.
Panjangnya kira-kira selutut. Anehnya celana itu dicucui setiap Suro.
Ajaibnya ia tidak pernah terkena penyakit kulit, atau gudiken dalam
istilah pesantrennya.  Entah penganut
ilmu apa spesies satu ini, yang pasti meskipun aneh, kejadian ini adalah
kejadian nyata dan sempat membuat teman-teman sekosan tercengang. 
Anda
pun bisa membayangkan, bagaimana bau yang dihasilkan dari celananya tersebut.
Mungkin jika celana tersebut jatuh di sungai, semua ikan akan pingsan. Mulai
saat ini saya sarankan pemerintah untuk waspada, karena celana si Jembit ini
bisa saja merusak ekosistem di sungai ataupun laut Indonesia.
Parahnya
ia juga tidak mempunyai –maaf—celana dalam. Untuk masalah ini saya mohon jangan
dibayangkan bagaimana posisi si Joninya. Sering sekali ia diejek oleh
teman-teman, “Wes, gede kok ora ndue sempak, koyok bule wae!"
(sudah dewasa kok tidak punya celana dalam, seperti bule saja)
Memang
si Jembit adalah manusia dengan kepercayaan diri tingkat dewa. Ia tidak pernah
malu dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan teman-teman. Malahan, ia dengan
lantang membalas “Ulama iku ora tau nganggo sempak. Aku pengen dadi ulama,
mulakno aku anut ora tau nganggo sempak.” (ulama itu tidak pernah
memakai celana dalam, aku ingin menjadi ulama, makanya aku ikut tidak pernah
memakai celana dalam).
Selain
dua yang saya sebutkan di asta,  ada lagi
satu hal yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak. Anda mungkin mengenal
Sule, Parto, atau pelawak-pelawak yang sering nongol di televisi. Namun saya di
sini tidak membahas lawakannya yang sering membuat penonton tertawa
terpingkal-pingkal. Saya hanya ingin menginformasikan kepada Anda, bahwa
pelawak sekarang ini  terkalahkan dengan
lawakan para pemerintah. Pelawak yang saya sebutkan di atas, saat ini tengah
dilanda galau karena jarang mendapatkan job untuk melawak. Para penonton
televisi pun sekarang memilih lawakan para pemerintah untuk sekadar memancing
tawa mereka.
Kasihan
memang Sule dan kawan-kawan. Ia gelisah, sebab bebrapa hari terkhir ini
dapurnya tidak lagi membumbungkan asap. Tidak ada job, berarti tidak ada
pemasukan untuk mencukupi kebutuhan dapurnya. Lantas,Sule mempelopori
teman-teman satu profesinya untuk mengadakan aksi menolak lelucon pemerintah.
Mereka bersama-sama menyewa massa dari berbagai perguruan tinggi untuk
menduduki Gedung DPR RI.
Hari
yang ditentukan telah datang, Sule dan kawan-kawan mengawasi massa yang
meneriakkan kepentingan mereka. Tapi ada kejadian aneh yang sempat membuat Sule
tercengang. Ketika salah satu pemerintah keluar menghampiri massa. Bukannya
massa beringas meneriakkan tuntutannya, mereka malah meminta tanda tangan
kepada pejabat tersebut. Setelah itu mereka bubar. Ketika massa mewati Sule dan
kawan-kawannya, ada salah satu massa yang ngomong kepada Sule, “Lebih lucu
aslinya daripada melihat di televisi. Mas aku mau pulang saja, mau nonton
lelucon pemerintah.”
Kasihan
Sule. Untung cerita yang ketiga ini adalah fiktif belaka. Jadi, nggak usah
khawatir dengan kehidupan Sule. Sule akan selalu ada untuk menghibur Indonesia.
Ibil Ar-Rambany







 
.jpg)














.jpg) 
.jpg) 
 
 
 
 
 
 
Terimakasih atas kunjungan anda....