BREAKING NEWS
Search

Lelucon


Tentunya tak jarang telinga kita mendengar tawa seseorang. Setiap orang mempunyai gaya tertawa yang berbeda-beda. Tergantung tempat dan genre apa yang dianutnya. Selain itu, sebab tertawanya pun juga  berbeda, kembali keorangnya masing-masing.

Diakui atau tidak, kalimat di atas sangat mbulet-mbulet (membingungkan) atau malah cenderung tidak bisa dipahami. Sebenarnya tak ada maksud untuk menuliskan hal tersebut, tapi aku juga tidak tahu kenapa paragraf di atas bisa terpasang menjadi pembuka tulisan ini. Entahlah.

Saya menyarankan dua paragaraf di atas jangan dibaca, karena tidak terlalu penting dan tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan kali ini. Namun, jika memang terlanjur sudah dibaca, jangan sesekali menyesali perbuatan mulia Anda tersebut. Toh, tulisan ini ada di depan Anda memang dimaksudkan untuk dibaca. Hehehe.

Jika saya boleh menebak. Ketika Anda sampai di paragraf ini, mungkin Anda sedikit bertanya-tanya. Apa sebenarnya maksud tulisan ini? Nah, karena saya umat Islam yang wajib berbaik hati kepada sesama, saya akan menjawab pertanyaan Anda tersebut. Maksud tulisan ini adalah “tidak ada maksud”, dan seharusnya Anda tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan hal tersebut.
Rasanya kok dari tadi bertele-tele. Oke, mulai detik ini saya akan sungguh-sungguh masuk dalam pembahasan yang serius. Tolong diperhatikan dan baca dengan serius cerita ini, karena ini adalah pembahasan yang serius. Jangan lewatkan satu kata pun. Saya tidak ingin Anda gelo (menyesal) karena ketinggalan barang satu kata pun.

Tadi malam, saya dan beberapa kawan yang lain ditugasi Rahmat Kamaruddin untuk menulis tentang hal yang bisa membuat ketawa.  Sebenarnya banyak sekali hal-hal disekeliling saya yang bisa memancing tawa. Namun, saya akan mencoba menyebutkan dan menguraikan beberapa saja, yang memang benar-benar bisa membuatku ketawa lalu salto sambil mbedol Monas sambil bilang wawu.  

Yang pertama dan yang paling membuat diri saya tertawa jingkrak-jingkrak adalah ketika –maaf— Bang Raka (nama samara) mengeluarkan ucapan ampuhnya, “Doo, Doo, aduh piye iki Do.” Ketika ia mengeluarkan jurus ampuhnya tersebut, bisa dipastikan semua yang mengisi sekret akan tertawa. Kalau misalkan Anda tidak percaya, silahkan berkenalan dengannya kemudian suruh dia berbicara seperti itu. Saya jamin Anda akan ikut-ikutan mbedol Monas.

Yang kedua saya mempunyai teman, sebut saja Jembit. Saya tidak enak jika harus menyebutkan nama aslinya, mengingat dia mempunyai temperamental yang bisa membahayakan spesies lain di sekelilingnya. Kebetulan makhluk yang satu ini adalah teman satu kos saya sendiri. Orangnya idealis, keras kepala, dan tidak mau kalah jika tidak dikeroyok beramai-ramai.
Jika Bang Raka bisa membuat terpingkal-pingkal dengan logat Jawa mubetnya, sedangkan Jembit bisa meledakkan tawa seseorang dengan celananya. Ceritanya seperti  ini. Dulu sebelum pindah sekamar dengan saya dan beberapa teman yang lain. Ia sempat nyantri di Bogor, entah di mana tepatnya. Karena, menurutnya, ajaran di pesantren tersebut berseberangan dengan pemahamannya. Ia memutuskan untuk keluar dari pesantren secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan kiai dan kedua orang tuanya. Lantas ia memilih tinggal bersama kami hingga saat ini.

Sebenarnya saya juga belum begitu kenal Jembit. Hanya sebatas tahu saja kalau dahulu ia pernah nyantri sebagai santri kalong, santri yang tidak bermukim di pesantren. Jembit, orang idealis ini memang berkelakuan aneh bin ajaib. Bagaimana tidak aneh, ia mempunyai celana yang dibuat dari kain sarung. Panjangnya kira-kira selutut. Anehnya celana itu dicucui setiap Suro. Ajaibnya ia tidak pernah terkena penyakit kulit, atau gudiken dalam istilah pesantrennya.  Entah penganut ilmu apa spesies satu ini, yang pasti meskipun aneh, kejadian ini adalah kejadian nyata dan sempat membuat teman-teman sekosan tercengang.

Anda pun bisa membayangkan, bagaimana bau yang dihasilkan dari celananya tersebut. Mungkin jika celana tersebut jatuh di sungai, semua ikan akan pingsan. Mulai saat ini saya sarankan pemerintah untuk waspada, karena celana si Jembit ini bisa saja merusak ekosistem di sungai ataupun laut Indonesia.

Parahnya ia juga tidak mempunyai –maaf—celana dalam. Untuk masalah ini saya mohon jangan dibayangkan bagaimana posisi si Joninya. Sering sekali ia diejek oleh teman-teman, “Wes, gede kok ora ndue sempak, koyok bule wae!" (sudah dewasa kok tidak punya celana dalam, seperti bule saja)
Memang si Jembit adalah manusia dengan kepercayaan diri tingkat dewa. Ia tidak pernah malu dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan teman-teman. Malahan, ia dengan lantang membalas “Ulama iku ora tau nganggo sempak. Aku pengen dadi ulama, mulakno aku anut ora tau nganggo sempak.” (ulama itu tidak pernah memakai celana dalam, aku ingin menjadi ulama, makanya aku ikut tidak pernah memakai celana dalam).

Selain dua yang saya sebutkan di asta,  ada lagi satu hal yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak. Anda mungkin mengenal Sule, Parto, atau pelawak-pelawak yang sering nongol di televisi. Namun saya di sini tidak membahas lawakannya yang sering membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal. Saya hanya ingin menginformasikan kepada Anda, bahwa pelawak sekarang ini  terkalahkan dengan lawakan para pemerintah. Pelawak yang saya sebutkan di atas, saat ini tengah dilanda galau karena jarang mendapatkan job untuk melawak. Para penonton televisi pun sekarang memilih lawakan para pemerintah untuk sekadar memancing tawa mereka.

Kasihan memang Sule dan kawan-kawan. Ia gelisah, sebab bebrapa hari terkhir ini dapurnya tidak lagi membumbungkan asap. Tidak ada job, berarti tidak ada pemasukan untuk mencukupi kebutuhan dapurnya. Lantas,Sule mempelopori teman-teman satu profesinya untuk mengadakan aksi menolak lelucon pemerintah. Mereka bersama-sama menyewa massa dari berbagai perguruan tinggi untuk menduduki Gedung DPR RI.

Hari yang ditentukan telah datang, Sule dan kawan-kawan mengawasi massa yang meneriakkan kepentingan mereka. Tapi ada kejadian aneh yang sempat membuat Sule tercengang. Ketika salah satu pemerintah keluar menghampiri massa. Bukannya massa beringas meneriakkan tuntutannya, mereka malah meminta tanda tangan kepada pejabat tersebut. Setelah itu mereka bubar. Ketika massa mewati Sule dan kawan-kawannya, ada salah satu massa yang ngomong kepada Sule, “Lebih lucu aslinya daripada melihat di televisi. Mas aku mau pulang saja, mau nonton lelucon pemerintah.”

Kasihan Sule. Untung cerita yang ketiga ini adalah fiktif belaka. Jadi, nggak usah khawatir dengan kehidupan Sule. Sule akan selalu ada untuk menghibur Indonesia.


Ibil Ar-Rambany



nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “Lelucon

    Terimakasih atas kunjungan anda....