BREAKING NEWS
Search

Obrolan Parno dan Paijo



Tidak seperti biasanya Markonah pagi-pagi begini sudah mandi, berpakaian rapih, dan harum baunya. Suaminya, Parno, merasa heran dengan gelagat aneh istri semata wayangnya tersebut. “Paling lagi kesambet,” batin Parno.

Seperti  biasanya, Markonah tak pernah berpamitan ketika keluar dari rumah. Bahkan ibu dua anak itu sering dimarahi pak ustad sebelah rumahnya, dengan alasan kelakuan Markonah sangat bertentangan dengan ajaran Nabi. Begitu kata pak ustad. Tapi namanya juga Markonah, yang selalu cuek dengan begitu-begituan, ia iya kan saja, tanpa ada realisasi setelahnya.

Tepat jam 7 pagi, ia keluar rumah. Ketika sampai di ambang pintu, Parno memanggilnya. “Arep nang ndi Kowe?”  sambil memakaikan sepatu kedua anaknya ia menjawab. “Mau nganter Paina dan Paini ke sekolah.” 

Parno sendiri terasa aneh dengan jawaban istrinya tersebut.

Yo wis yo, ojo lali sapine dipakani!” kata Markonah sambil menggandeng kedua anaknya dan berlalu meninggalkan rumah.

Parno hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Markonah. Ia tergolong manusia tingkat “suami-suami takut istri” memang. Tapi ada sedikit rasa kecurigaan yang mendera hati Parno. “Apa jangan-jangan mau ketemuan sama mantan pacarnya dulu?” lantas Parno bangkit dari tidurnya. Tanpa menyentuh air sedikit pun, Parno segera merubah wujudnya menjadi seorang intel dan lekas menuju sekolah anaknya.

Sesampainya di sekolahan, Parno mengurungkan niatnya untuk mengawasi Markonah. Tampaknya sekolah hari ini sedang ada acara besar. Semua siswa berkumpul di halaman sekolah dengan para ibunya. Di sela-sela ratusan kepala yang ada di halaman tersebut, Parno mendapati Paina, Paini, dan istrinya tengah ikut berjubel bersama siswa dan ibu-ibu yang lain.

Kecurigaan Parno terhapuskan dengan kejadian di depan matanya tersebut, ia pun mengurungkan niatnya untuk memata-matai Markonah. Ia sempat berpikir, meskipun Markonah tak secantik idolanya, Maria Ozawa, namun kesetian Markonah memang telah teruji. “Tidak seperti Mbak Maria, yang gonta-ganti aja,” batinnya sambil terkekeh.

“Parno, sini ngopi,” panggil Paijo, sahabat ngaritnya. Sambil nyengir kuda parno pun segera menghampiri Paijo.

Ngopo, klontrang-klantrung nang kono? Rep sekolah SD maning?’’ ejek Paijo ketika Parno duduk di depannya.

Nggak, tadi Cuma pengen ngawasi Markonah aja, takut mau selingkuh. Nggak biasanya dia mau nganter anak sekolah, hahahaha,” jawab Parno.

Halah,,,, koyo manten baru wae. Gimana tanduran mbakomu?” sambung Paijo.

Modar kabeh kang keterak udan wingenane.”

Yo wis, disukuri wae lah, sing penting ijeh iso mangan, ora korupsi koyo pemerintah kae.”

Di tengah-tengah curhatannya tersebut, tiba-tiba ada seseorang berjas dan dua anjing yang berbadan tegap dan gondrong rambutnya keluar dari sekolahan menuju warung kopi.

Kui sopo, No?” bisik Paijo.

“Lha, kui bukane pak mentri pendidikan. Sopo kui jenenge leh, sing wingi gawe kocar-kacir UN kui lho,” jawab Parno sambil berpikir.

“Nabi Nuh jenenge,”

Ndasmu!!!!”

                                                      @@@

“Mau pesan apa, Pak Menteri?” Tanya Mbak Wanti selaku penjual kopi kotok khas Jawa tersebut.

“Kopi joss tiga mbak,” kata pak menteri.

Tak diduga Parno dan Paijo, setelah memesan kopi pak menteri dan kedua anjing peliharaannya tersebut  duduk di dekat mereka berdua. Sontak Parno dan Paijo sedikit salah tingkah. Sambil menyimpulkan senyum, pak menteri mengjak salaman mereka berdua.

“Ma-nuh-ara!” kata pak menteri ketika bersalaman dengan Parno dan Paijo.

Kok kayak yang disiletin di Malaysia ya, namanya,” bisik  Paijo.

Hussss,,,, ngawur, itu Manohara, bukan Ma-nuh-ara. Tapi aku heran lho, kenapa pak menteri rela mlosok ke sini?”

Paijo tidak menjawab, keduanya terdiam. Ia hanya memperhatikan pak menteri berbicara kepada kedua anjingnya. Dalam pembicaraan antar ketiganya tersebut, sayup-sayup Parno dan Paijo mendengar, bahwa pak meteri diutus langsung oleh pak presiden untuk membagikan seribu buku ke SD terpencil ini. Parno dan Paijo tidak tahu pasti kenapa SD ini saja yang diberi buku. Entahlah.

Rasa penasaran tampaknya membuat Paijo bertanya kepada Pak Menteri.

Ehm,,,,ehem,,,, Pak Menteri,” panggilnya sambil mesam-mesem.

“Oh iya, ada apa Kang,”

Parno ingat film remaja di TV kemarin, seketika itu logatnya pun kemudian diganti ala jakarte-nan.

“Pak, kenape Lau dateng ke tempat plosok ini?” Tanya Paijo dengan PD nya.

Gue kan diutus sama Pak Beye buat bagiin buku ke sekolah ini, ini kan 17 Mei, Hari Buku Nasional,” jawab pak menteri.

“Oh gitu ya Pak, maaf Pak tidak ada sambutan soalnya para guru tidak ngasih tahu kalo Pak Menteri mau datang ke sini!”

Nggak apa-apa, yang penting pendidikan lancar, oh iya, gue pamit mau ngasih sambutan dulu ke dalam ya, tadi rada ngantuk jadi ngops-ngops dulu, heheheh,”

“Oh iya,,,, silahkan!” Jawab Parno dan Paijo bersamaan.

Pak menteri dan kedua anjingnya meninggalkan warung menuju SD. Parno dan Paijo pun kembali dalam perbincangannya.

“Gaya mu, Jo, Jo. Pemerintah itu nggak usah disambut, pantasnya mereka disambit saja kalau datang!”

Halah,,,, omongmu bloko. Ya ndak gitu juga, semua pemerintah tidak semuanya jelek.”

“Siap bilang jelek, mereka memang ganteng-ganteng, tapi kelakuane kayak …..” belum selesai Parno berbicara, Paijo sudah memotongnya.

Husssss,,,,,, wes, wes. Dosa, nggunem orang itu!”

“Ya udah,,, tapi dipikir-pikir baik juga ya, mau nyumbang seribu buku? Paling-paling juga sebagian uang buat beli bukunya ditilep.” Kata Parno.

Lambemu kui dijogo, jangan berpikiran seperti itu, meskipun pengadaan Alquran pernah terjadi. Tapi kebanyakan sih kayak gitu, hehehe nggak cuma pemerintahlah, lha wong kami tuo aja kemarin kena kasus ngegedein anggaran kan. Namanya juga orang Indonesia, yang cerdik ngakali, tapi rak mudeng kalo diakali!” jelas Paijo sok bijak. Kemudian ia melanjutkan ucapannya kembali.

Wes No, tidak usah lagi menghujat pemerintah, jangan terus berpikir apa yang telah diberikan pemerintah kepada kita. Seharusnya kita juga berpikir, apa yang telah kami persembahkan kepada bangsa dan negara ini. Kalo kita berpikir gitu dan pemerintah berpikir gitu, pasti makmurlah negera kita.”

“Wuih,,, analisis tukang ngarit. Iya sih Jo, kalo dipikir-pikir benar juga cocotmu. hahahaha”

“No, itu bukannya sapimu?”

“Iya re, kok iso ucul?” Tanya Parno sambil berlari mengejar sapinya dan meninggalkan Paijo begitu saja.

Aksi kejar-kejaran tersebut sebagai simbol berakhirnya obrolan Parno dan Paijo. Parno sibuk mengejar sapinya dan Paijo bergegas pulang ke rumah untuk mengambil sabit, setiap hari ia harus ngarit untuk mencukupi kebutuhan sapinya. Dan mereka sama-sama sibuk mengurusi sapinya masing-masing.


Ibil Ar-Rambany






TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “Obrolan Parno dan Paijo

    Terimakasih atas kunjungan anda....