Tidak seperti
biasanya Markonah pagi-pagi begini sudah mandi, berpakaian rapih, dan harum
baunya. Suaminya, Parno, merasa heran dengan gelagat aneh istri semata
wayangnya tersebut. “Paling lagi kesambet,” batin Parno.
Seperti biasanya, Markonah tak pernah berpamitan
ketika keluar dari rumah. Bahkan ibu dua anak itu sering dimarahi pak ustad
sebelah rumahnya, dengan alasan kelakuan Markonah sangat bertentangan dengan ajaran Nabi. Begitu kata pak ustad. Tapi namanya juga Markonah, yang selalu cuek
dengan begitu-begituan, ia iya kan saja, tanpa ada realisasi setelahnya.
Tepat jam 7
pagi, ia keluar rumah. Ketika sampai di ambang pintu, Parno memanggilnya. “Arep
nang ndi Kowe?” sambil memakaikan sepatu
kedua anaknya ia menjawab. “Mau nganter Paina dan Paini ke sekolah.”
Parno sendiri
terasa aneh dengan jawaban istrinya tersebut.
“Yo wis yo,
ojo lali sapine dipakani!” kata Markonah sambil menggandeng kedua anaknya dan
berlalu meninggalkan rumah.
Parno hanya
bisa menghela napas mendengar ucapan Markonah. Ia tergolong manusia tingkat “suami-suami
takut istri” memang. Tapi ada sedikit rasa kecurigaan yang mendera hati Parno. “Apa
jangan-jangan mau ketemuan sama mantan pacarnya dulu?” lantas Parno bangkit dari tidurnya. Tanpa menyentuh
air sedikit pun, Parno segera merubah wujudnya menjadi seorang intel dan lekas
menuju sekolah anaknya.
Sesampainya
di sekolahan, Parno mengurungkan niatnya untuk mengawasi Markonah. Tampaknya sekolah
hari ini sedang ada acara besar. Semua siswa berkumpul di halaman sekolah
dengan para ibunya. Di sela-sela ratusan kepala yang ada di halaman tersebut,
Parno mendapati Paina, Paini, dan istrinya tengah ikut berjubel bersama siswa
dan ibu-ibu yang lain.
Kecurigaan Parno
terhapuskan dengan kejadian di depan matanya tersebut, ia pun mengurungkan
niatnya untuk memata-matai Markonah. Ia sempat berpikir, meskipun Markonah tak
secantik idolanya, Maria Ozawa, namun kesetian Markonah memang telah teruji. “Tidak
seperti Mbak Maria, yang gonta-ganti aja,” batinnya sambil terkekeh.
“Parno,
sini ngopi,” panggil Paijo, sahabat ngaritnya. Sambil nyengir kuda parno pun
segera menghampiri Paijo.
“Ngopo,
klontrang-klantrung nang kono? Rep sekolah SD maning?’’ ejek Paijo ketika Parno
duduk di depannya.
“Nggak,
tadi Cuma pengen ngawasi Markonah aja, takut mau selingkuh. Nggak biasanya dia
mau nganter anak sekolah, hahahaha,” jawab Parno.
“Halah,,,,
koyo manten baru wae. Gimana tanduran mbakomu?” sambung Paijo.
“Modar kabeh
kang keterak udan wingenane.”
“Yo wis,
disukuri wae lah, sing penting ijeh iso mangan, ora korupsi koyo pemerintah
kae.”
Di tengah-tengah
curhatannya tersebut, tiba-tiba ada seseorang berjas dan dua anjing yang berbadan tegap dan gondrong rambutnya keluar dari sekolahan menuju warung kopi.
“Kui sopo,
No?” bisik Paijo.
“Lha, kui
bukane pak mentri pendidikan. Sopo kui jenenge leh, sing wingi gawe kocar-kacir
UN kui lho,” jawab Parno sambil berpikir.
“Nabi Nuh
jenenge,”
“Ndasmu!!!!”
@@@
“Mau pesan
apa, Pak Menteri?” Tanya Mbak Wanti selaku penjual kopi kotok khas Jawa
tersebut.
“Kopi joss
tiga mbak,” kata pak menteri.
Tak diduga
Parno dan Paijo, setelah memesan kopi pak menteri dan kedua anjing peliharaannya
tersebut duduk di dekat mereka berdua. Sontak
Parno dan Paijo sedikit salah tingkah. Sambil menyimpulkan senyum, pak menteri
mengjak salaman mereka berdua.
“Ma-nuh-ara!”
kata pak menteri ketika bersalaman dengan Parno dan Paijo.
“Kok kayak
yang disiletin di Malaysia ya, namanya,” bisik Paijo.
“Hussss,,,,
ngawur, itu Manohara, bukan Ma-nuh-ara. Tapi aku heran lho, kenapa pak menteri
rela mlosok ke sini?”
Paijo tidak
menjawab, keduanya terdiam. Ia hanya memperhatikan pak menteri berbicara kepada
kedua anjingnya. Dalam pembicaraan antar ketiganya tersebut, sayup-sayup Parno
dan Paijo mendengar, bahwa pak meteri diutus langsung oleh pak presiden untuk
membagikan seribu buku ke SD terpencil ini. Parno dan Paijo tidak tahu pasti
kenapa SD ini saja yang diberi buku. Entahlah.
Rasa penasaran
tampaknya membuat Paijo bertanya kepada Pak Menteri.
“Ehm,,,,ehem,,,,
Pak Menteri,” panggilnya sambil mesam-mesem.
“Oh iya,
ada apa Kang,”
Parno ingat
film remaja di TV kemarin, seketika itu logatnya pun kemudian diganti ala
jakarte-nan.
“Pak,
kenape Lau dateng ke tempat plosok ini?” Tanya Paijo dengan PD nya.
“Gue kan
diutus sama Pak Beye buat bagiin buku ke sekolah ini, ini kan 17 Mei, Hari Buku Nasional,” jawab pak menteri.
“Oh gitu ya
Pak, maaf Pak tidak ada sambutan soalnya para guru tidak ngasih tahu kalo Pak
Menteri mau datang ke sini!”
“Nggak
apa-apa, yang penting pendidikan lancar, oh iya, gue pamit mau ngasih sambutan
dulu ke dalam ya, tadi rada ngantuk jadi ngops-ngops dulu, heheheh,”
“Oh iya,,,,
silahkan!” Jawab Parno dan Paijo bersamaan.
Pak menteri
dan kedua anjingnya meninggalkan warung menuju SD. Parno dan Paijo pun kembali
dalam perbincangannya.
“Gaya mu,
Jo, Jo. Pemerintah itu nggak usah disambut, pantasnya mereka disambit saja
kalau datang!”
“Halah,,,,
omongmu bloko. Ya ndak gitu juga, semua pemerintah tidak semuanya jelek.”
“Siap bilang
jelek, mereka memang ganteng-ganteng, tapi kelakuane kayak …..” belum selesai
Parno berbicara, Paijo sudah memotongnya.
“Husssss,,,,,,
wes, wes. Dosa, nggunem orang itu!”
“Ya udah,,,
tapi dipikir-pikir baik juga ya, mau nyumbang seribu buku? Paling-paling juga
sebagian uang buat beli bukunya ditilep.” Kata Parno.
“Lambemu
kui dijogo, jangan berpikiran seperti itu, meskipun pengadaan Alquran pernah
terjadi. Tapi kebanyakan sih kayak gitu, hehehe nggak cuma pemerintahlah, lha
wong kami tuo aja kemarin kena kasus ngegedein anggaran kan. Namanya juga orang
Indonesia, yang cerdik ngakali, tapi rak mudeng kalo diakali!” jelas Paijo sok
bijak. Kemudian ia melanjutkan ucapannya kembali.
“Wes No,
tidak usah lagi menghujat pemerintah, jangan terus berpikir apa yang telah
diberikan pemerintah kepada kita. Seharusnya kita juga berpikir, apa yang telah
kami persembahkan kepada bangsa dan negara ini. Kalo kita berpikir gitu dan
pemerintah berpikir gitu, pasti makmurlah negera kita.”
“Wuih,,,
analisis tukang ngarit. Iya sih Jo, kalo dipikir-pikir benar juga cocotmu.
hahahaha”
“No, itu
bukannya sapimu?”
“Iya re,
kok iso ucul?” Tanya Parno sambil berlari mengejar sapinya dan meninggalkan Paijo begitu saja.
Aksi kejar-kejaran
tersebut sebagai simbol berakhirnya obrolan Parno dan Paijo. Parno sibuk
mengejar sapinya dan Paijo bergegas pulang ke rumah untuk mengambil sabit,
setiap hari ia harus ngarit untuk mencukupi kebutuhan sapinya. Dan mereka
sama-sama sibuk mengurusi sapinya masing-masing.
Ibil Ar-Rambany
Terimakasih atas kunjungan anda....