Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi
kerap kali dipandang sebagai sosok yang “kontroversial” karena pemikiran dan
spiritualitasnya di luar mainstream pemahaman umat Islam. Doktrin wahdatul
wujud dianggap sebagai puncak kontroversialnya, karena “mengganggu”
kesadaran dan kemapanan teologi mayoritas. Dalam doktrin ini pula, Ibn ‘Arabi
disejajarkan dengan barisan sufi yang diasingkan dari komunitasnya, karena
kritis terhadap “kemutlakan” Tuhan.
Memang, pemikiran ketuhanan Ibn
‘Arabi mencoba masuk dalam ranah filsafat, khususnya wilayah
metafisis-ontologis dari konsep ketuhanan. Kita bisa memahami konsep cara
bertuhan dalam buku TEOLOGI NEGATIF IBN
‘ARABI: Kritik Metafisika Ketuhanan, Muhammad Al-Fayyadl yang disebut
teologi negative. Perspektif ini perlu kita apresiasi lebih jauh lagi sebagai
kritik terhadap basis konstruksi keilmuan kalam maupun terhadap bangunan
dalam konteks agama-agama.
Dalam konteks keilmuan kalam, buku
ini mesti ditempatkan sebagai kritik terhadap basis konstruksi keilmuan kalam,
karena wacana tentang Tuhan masih dipahami dengan cara yang normal. Teologi
yang kita kenal selama ini telah membingkai Tuhan dalam konsep-konsep baku,
formal, dan positif, sehingga menempatkan Tuhan sebagai realitas yang objektif.
Tuhan pada pengertian logos, dalam
suatu disiplin ilmu yang didasarkan pada asumsi-asumsi metafisis tertentu. Oleh
karena itu, diperlukan suatu cara pandang yang baru terhadap terhadap basis
konstruksi keilmuan kalam sehingga wacana tentang Tuhan lebih membumi
dalam kehidupan keseharian umat. Sebab, Tuhan tidak sekadar dipercaya dan
diimani, melainakan juga dihayati, sehingga pada gilirannya umat menemukan
formula baru dalam berteologi, yang menjauhkan mereka dari klaim
pengetahuan dan klaim kebenaran tertentu.
Berdasarkan tawaran gagasan di
atas, wacana tentang Tuhan dalam bingkai teologi negatif, seperti dalam buku
ini, layak diapresiasi, dan di situ lah letak keunggulannya. Penulis
mendapati Ibnu ‘Arabi bukan sekadar seoarang sufi besar/salik, tetapi
juga seorang teolog yang mumpuni, dalam artian ia melakukan teoritisasi
ketuhanan dengan caranya sendiri. Tuhan bagi teologi negatif Ibnu ‘Arabi adalah
misteri. Ia adalah “Misteri yang Absolut” (al-ghayb al-muthlaq) (hal.
11).
Selain itu, buku ini juga
menemukan kontekstualisasi dalam perbincangan tentang klaim keselamatan dalam
agama-agama atau aliran-aliran dalam agama. Keberagaman umat di Indonesia
akhir-akhir ini dipenuhi oleh klaim kebenaran, baik oleh aliran tertentu dalam
suatu agama maupun oleh agama yang satu terhadap agama lainnya. Satu sama lain
mengklaim sebagai yang paling benar, paling mewakili kehendak Tuhan, sehingga
merasa berhak melabeli sesat pada aliran keimanan lainnya.
Dari Ibn ‘Arabi, melalui buku ini
kita bisa mengkonstruksi ulang cara pemahaman keberagaman kita, sekaligus
menegaskan bahwa ada yang “salah” dalam cara kita bertuhan dan beragama, karena
minimnya perspektif ketuhanan. Dan buku ini –barang kali—mampu mengisi
kekosongan dalam memahami konsep ketuhanan, sehingga ke depan kita lebih bijak
dan toleran dalam kehidupan beragama.
Ibil Ar-Rambany
Terimakasih atas kunjungan anda....