BREAKING NEWS
Search

KURSI GOYANG



Maman memandang matahari yang bergerak ke ufuk barat. Kembali ke peraduannya. Sinarnya yang berwarna kuning kemerah-merahan semakin meredup seiring berlalunya detik demi detik. Sebentar kemudian, selewat lima menit, sang mentari pun menghilang. Terhalang oleh rimbunan hutan jati yang membujur di bagian barat kampung Karang Lincak. Menyisakan siluet-siluet yang terlihat buram dari kejauhan. Rupanya hari telah menyambut malam. Dan suara hewan-hewan malam pun mulai bermunculan.

Namun Maman tetap berdiri tegak di teras rumahnya. Meski hari telah gelap dan angin malam mulai berhembus, dia masih tak bergeming dari tempatnya sekarang berdiri. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, sedang matanya menerawang jauh ke depan. Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang. Saat dia bersama teman-temannya asyik berceloteh di warung kopi Wak So. Ujung paling utara kampung Karang Lincak.

“Kita harus pergi dari kampung ini!” kata Narto, si tukang cerita. “Ini kampung miskin. Tentu saja kita menjadi miskin. Kalau ingin kaya, kita harus hidup di kampung yang kaya! Yang banyak mobilnya!”
Kardi, Sodik, dan Karmijan mengangguk-anggukkan kepala. Setuju dengan kata Narto. Yang lain cuma tersenyum.

“Kalau kita pergi ke kota, mungkin kita bisa punya mobil sendiri!” ujar Narto lagi. Semakin bersemangat. “Kita harus berpetualang bila ingin kaya! Kita harus pergi dari kampung miskin ini!” katanya menggebu-gebu.

Warung kopi Wak So tiba-tiba menjadi riuh. Bukan karena mereka ingin memiliki mobil, melainkan karena Narto mengucapkan kata ‘berpetualang’. Maman masih ingat, mereka untuk pertama kalinya mendengar kata ‘berpetualang’ saat bersama-sama menonton acara di salah satu stasiun TV swasta di rumah Babah Ahmed lima tahun yang lalu. Satu-satunya warga Karang Lincak yang saat itu mempunyai TV bertenaga aki.

Waktu itu mereka menonton acara debat nasional. Pembawa acaranya adalah seorang pemuda tampan berkulit putih. Rambutnya yang hitam dan lurus disisir menyamping. Sedang dasinya yang berwarna gading tampak sesuai dengan baju putih lengan panjang yang dikenakannya. Panji, begitu anak muda itu memperkenalkan dirinya, mengatakan kalau banyak anak muda dari kota besar berpetualang keseluruh Indonesia, dan masih banyak mengatakan yang lain. Sayangnya, yang diingat oleh Maman dan warga Karang Lincak hanya kata ‘berpetualang’. Dan Babah Ahmed, sang pemilik TV sekaligus satu-satunya orang sekampung yang pernah mengenyam bangku sekolah dasar, mengatakan kalau arti “berpetualang” adalah mengunjungi daerah lain agar bisa menjadi orang kaya. Tidak jelas apakah penjelasan Babah Ahmed benar atau salah, tak ada yang mempermasalahkannya. Yang pasti, sejak saat itu warga Karang Lincak begitu terpesona mendengar kata ‘berpetualang’. Mengucapkannya saja terasa amat hebat.

Dan sejak saat itu Maman bercita-cita menjadi orang berdasi.

“Aduh!” Maman berjengit saat seekor nyamuk kecil menggigitnya. Membuatnya terputus dari alam lamunan. Tangannya bergerak otomatis ke arah tempat nyamuk itu hinggap dan menepuknya keras, membuat nyamuk naas itu mati terjepit. Setelah menyingkirkan bangkai nyamuk yang mati, dan membersihkan darahnya sendiri yang terhisap, Maman memutuskan masuk ke dalam rumah. Bukan udara dingin yang ia takutkan, melainkan nyamuk. Sepanjang pengalamannya hidup selama dua puluh tahun di Karang Lincak, Maman tahu gerombolan nyamuk akan mencari mangsa beberapa saat setelah maghrib. Dan berdasarkan pengalaman pula ia tahu kalau berlindung di dalam rumah membuatnya lebih aman dari serangan nyamuk.

Maman langsung menyandarkan tubuhnya di kursi goyang begitu selesai sholat maghrib. Dia selalu melakukan kebiasaan itu semenjak kedua orang tuanya meninggal lima tahun yang lalu. Bisa dibilang, kursi goyanglah satu-satunya barang berharga yang dimilikinya. Dari kedua orang tuanya yang miskin, ia tidak banyak mendapat warisan. Warisan yang didapatnya hanya sebuah gubug reyot yang hampir roboh, dan tentu saja, kursi goyang. Meski begitu, Maman merasa kursi goyang itu amatlah penting baginya. Di kursi goyang itulah dia sering merenung atau melamun. Hal yang kerap ia lakukan tiap kali sendirian di rumah.

Dan kali ini pun pikiran Maman sudah melayang kembali ke masa lampau. Sepuluh hari yang lalu saat dia dan Karjo memburuh di sawah Kaji Dullah. Semuanya berawal dari kesalahan Karjo yang meletakkan padi hasil panen di halaman rumah Kaji Dullah yang sepi. Malang tak dapat di tolak. Keesokan harinya Kaji Dullah bertandang ke rumahnya, memberitahukan kalau padi hasil panen hilang. Dengan wajah pucat Maman mendengarkan, dan bersama-sama, setelah itu mereka mengunjungi Karjo. Semula Karjo pun berwajah sumringah saat melihat Kaji Dullah memasuki pekarangan rumahnya, mengira akan menerima bayaran. Akan tetapi segera menjadi pucat pasi saat Kaji Dullah mengatakan kalau padi hasil panen hilang.

“Maaf, Kaji.” Karjo berkata terbata-bata. “Tadi sore padinya saya letakkan di halaman rumah Kaji.”

Kaji Dullah mengangguk. Tersenyum. “Tidak perlu khawatir,” katanya, “Aku tidak menyuruh kalian untuk mengganti padiku. Aku hanya ingin persetujuan kalian.” Maman dan Karjo saling memandang. Keduanya sama-sama berwajah pucat. Namun Karjo lebih pucat meyerupai mayat. Mereka serentak mengangguk.

“Nah... aku ingin keikhlasan kalian. Aku hanya mampu membayar setengah dari upah kalian. Kalian tahu aku sedang merugi,” kata Kaji Dullah, masih sambil tersenyum, “tapi, tentu saja kalau kalian setuju.”

Karjo berkata buru-buru, “jangan, Kaji. Kaji tidak perlu mengupah kami.”

Kaji Dullah menoleh ke arah Maman, “bagaimana dengan kau, Man?” Maman hendak mengatakan serupa dengan Karjo, tapi mengurungkannya mengingat dia sudah kehabisan persediaan beras.

“Maaf, Kaji. Aku kehabisan uang.”

“Kau mau minta separo atau penuh?”

“Separo saja.” 

Kaji Dullah merogoh sakunya. Mengambil segepok uang dan menyerahkannya ke Maman. Kemudian mengeluarkan segepok lagi dan menyerahkannya ke Karjo. Karjo hendak menolak, tapi Kaji Dullah memaksa.
“Tak apa, Jo. Terima sajalah
,” katanya.

Dan setelah itu Kaji Dullah beranjak pergi. Maman dan Karjo tak mampu berkata-kata. Kaji Dullah orang terkaya di Karang Lincak. Juga yang paling dermawan. Entah berapa kali mereka ditolong Kaji Dullah. Ah! Mereka tidak bisa menggambarkan kebaikan hati laki-laki tua renta itu. Sudah terlalu banyak!

Maman kembali ke alam sadar oleh dinginnya angin yang menyusup dari celah-celah sempit dinding bambu rumahnya yang reyot. Dia bangkit, meraih kanvas tua yang tergeletak di atas lemari kayunya yang rapuh, dan menuju dapur untuk membuat tinta dari belanga yang menempel di periuk yang sering dia gunakan untuk menanak nasi. Dia ingin melukis. 

Maman masih ingat, gara-gara melukislah dia menjadi sering dipanggil Kaji Dullah untuk menjadi buruh tani di tanahnya yang luas. Kaji Dullah suka melihat lukisan. Dan di suatu sore, saat Kaji Dullah menyambangi rumahnya, orang tua itu menemukan lukisan-lukisannya tergeletak begitu saja di atas mejanya yang kecil. Kaji Dullah menyukai lukisan-lukisannya. Dan sejak itu hampir setiap minggu Kaji Dullah selalu memilih lukisan-lukisannya yang paling bagus. Entah kenapa Kaji Dullah melakukan itu Maman tidak tahu. Dia sama sekali tidak merasa berkeberatan andaikan saja Kaji Dullah membawa pulang lukisannya.
***
Beberapa hari selanjutnya, setelah menyerahkan lukisan ‘Kursi Goyang’-nya kepada Kaji Dullah, Maman kembali ngangso di warung kopi Wak So. Kembali mendengarkan celotehan teman-temannya yang revolusioner.
“Kita harus segera berpetualang
,” ujar Narto, memulai pembicaraan dengan kata ‘berpetualang’. Efeknya langsung terasa. Semua anak muda yang sedang menyeruput kopi hitam kental tampak bergairah. Menunggu kata-kata berikutnya.

“Kalian masih ingat Kang Winarso? Tetangga kita yang lima tahun lalu pergi dari Karang Lincak? Kabarnya sekarang dia sudah kaya dan mempunyai rumah tiga lantai,” kata Narto memprovokasi, “kalau kita mengikuti jejak Kang Winarso, aku yakin kita bisa seperti dia.

Maman memandang Narto lekat-lekat. Tertarik dengan kabar yang dibawanya. Dia kenal baik dengan Kang Winarso. Sebelumnya mereka sama-sama menjadi buruh pada Kaji Dullah. Mengerjakan sawah Kaji Dullah saat musim tanam tiba dan bekerja sepanjang hari saat panen datang. Kang Winarso pula yang mengajarinya merawat kayu hingga kursi goyangnya yang sebenarnya berusia tua masih bisa bertahan hingga sekarang.
“Kita pun pasti bisa kaya kalau meninggalkan kampung miskin ini. Kita harus berpetualang!” sambung Narto mengakhiri pidatonya hari ini.

Warung kopi Wak So yang biasanya ramai mendadak senyap. Hanya sesekali terdengar suara denting gelas yang beradu dengan sendok saat Wak So menyeduh kopi bagi orang-orang yang baru datang. Tampaknya semua pemuda yang ada disini terbius dengan ucapan Narto. Kehidupan di Karang Lincak yang sulit membuat mereka berpikir untuk pergi ke tempat lain, mencari kekayaan. Bahkan sejatinya Maman pun tertarik dengan ajakan Narto. Apalagi setelah mendengar kabar kalau Kang Winarso sukses di perantauan. Satu-satunya alasan yang menghalanginya pergi adalah kursi goyangnya. Dia tidak bisa membayangkan kursi goyangnya lapuk dimakan rayap. 

Namun, baru selewat satu minggu kebimbangan mulai menerpanya. Satu persatu temannya menyeruput kopi di warung Wak So menghilang. Merantau ke kota-kota besar. Yang pertama pergi adalah Narto, si juru cerita. Dari Karmijan dia tahu Narto melancong ke kota besar bernama Jakarta. Entah dimana letak Jakarta Maman tak tahu. Baru keesokan harinya, dari Babah Ahmed dia tahu kalau Jakarta merupakan Ibu Kota negaranya. Ah! Semuanya hanya membuatnya semakin bingung. Bahkan ia tak tahu apa itu negara!

Hari berikutnya Kardi yang berangkat ke Surabaya. Menyusul kemudian menghilang Sadiq, Karmijan, Parno, dan semua anak muda yang biasa berceloteh di warung kopi Wak So. Dan Maman pun semakin sering merenung di atas kursi goyang, semakin dibingungkan oleh pilihan-pilihan. Semakin ragu untuk melangkah. Sekarang tak sekalipun ia mengunjungi warung kopi Wak So. Selain tiada teman, ia merasa kopi tak lagi membuatnya tenang. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Dia juga ingin berpetualang. Tapi keinginan itu kembali pudar mengingat dia hanya mempunyai gubuk yang hampir roboh dan sebuah kursi goyang. Hingga akhirnya pada suatu pagi yang hangat Kaji Dullah mengetuk pintu rumahnya dengan membawa sekantung penuh beras. Maman yang kaget segera membukakan pintu, menyilahkan Kaji Dullah masuk. Di hatinya muncul seribu pertanyaan yang mengambang

“Ada apa, Kaji?” tanya Maman, setelah mereka duduk berhadapan.

“Kau ingin merantau, Man?” Kaji Dullah balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Maman.

Semula Maman merasa ragu untuk menjawab. Dia teringat kursi goyangnya. Namun tak lama kemudian ia pun mengangguk. Entah mengapa, setelah menganggukkan kepala, beban berat yang akhir-akhir ini menggelayuti pikirannya hilang. Terbang menguap terbawa angin.

“Kenapa masih disini?” tanya Kaji Dullah lagi. “Bukannya semua temanmu sudah pergi?” Maman mengangguk. 

“Tidak ada duit, Kyai”

Kaji Dullah terkekeh. Setelah itu mereka bercakap banyak mengenai panen besar di petak sawah Kaji Karjo yang lain. Maman merasa malu mengingat padi yang hilang gara-gara ulah Karjo. Ya. Hanya dipetak sawah yang dia kerjakan bersama Karjo lah Kaji Dullah merugi.

“Oh ya, Man. Berikan tanganmu.” Kata Kaji Dullah sebelum pamit.

“Itu uangmu,” kata Kaji Dullah sambil meletakkan amplop putih diatas ke tangan Maman, “lukisan ‘Kursi Goyang’ yang kau berikan kepadaku tempo hari terjual. Gunakan untuk merantau. Jangan dibuka sebelum aku pergi. Dan jangan pula mengejarku.” 

Maman langsung membuka amplop putih itu setelah Kaji Dullah keluar dari rumahnya. Dia terlonjak kaget saat melihat berlembar-lembar uang berwarna merah pecahan seratus ribuan memenuhi amplop putih itu. Berlembar-lembar! Maman tak pernah bisa mengingat kapan dia pernah memegang uang sebanyak itu. Dia tak ingat, karena dia memang tak pernah sekalipun memegang uang sebanyak itu! 

Maman teringat perkataan Kaji Dullah sesaat sebelum keluar dari rumahnya. ‘Gunakan untuk merantau. Maman menganggukkan kepala. Setelah itu dia duduk di kursi goyang yang mengayun ke depan dan ke belakang. Matanya mengerjap. Mengantuk. Dan terlelap.

Penulis: Burhanuddin Triatmojo, Mahasiswa Semester III Universitas Paramadina


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “KURSI GOYANG

    Terimakasih atas kunjungan anda....