BREAKING NEWS
Search

INDONESIA KRISIS MEDIA INDEPENDEN



Beberapa hari yang lalu, saya dan kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) UIN Syarif Hidyatullah singgah di Universitas Negeri Jakarta. Kami datang untuk memenuhi undangan dari LPM DIDAKTIKA UNJ. Sekitar enam orang berangkat dahulu, dan disusul teman-teman yang lain beberapa jam kemudian.

Sesampainya di UNJ, kami menelfon Satrio, yang tidak lain adalah Pemimpin Umum LPM DIDAKTIKA. “Langsung ke Fakultas Ilmu Sosial aja,” ucap Satrio. Kami pun bergegas menuju fakultas yang dikatakan Satrio.
Sesampainya di FIS, kami langsung masuk ruangan yang telah disediakan, kira-kira jam dua siang waktu itu. Di dalam ruangan telah berjajar puluhan kursi, dan di depan terlihat dua layar besar. Benar, kami ke sana untuk menonton film bergenre feature documentary yang berjudul “DI BALIK FREKUENSI” yang disutradarai oleh Ucu Agustin.

Film ini mengungkap konsisi media, khususnya televisi pasca-reformasi. Titik tekannya pada konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Produksi film “DI BALIK FREKUENSI” selama kurang lebih hampir satu tahun, yakni sejak 15 Desember 2011 hingga 25 November 2012. Pengambilan gambar melibatkan beberapa kota besar di Indonesia, Jakarta, Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Film ini mengishkan tuntuan Luviana, jurnalis Metro Tv  yang di PHK secara sepihak oleh petinggi Metro Tv, dan kisah Hari Suwandi-Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo.
Kisah mereka diceritakan secararinci, mulai dari kasus Luviana yang terus menuntut haknyadan akhirnya mendapat ending yang tragis. Kemudian pahlawan dari sidoarjo yang berjalan dari Porong hingga Jakarta, untuk sekadar menuntut penyelesaian ganti rugi lumpur Lapindo yang akhirnya malah menangis dan meminta maaf kepada Abu Rizal Bakrie, saat diwawancarai di Tv One.

Melihat film ini, saya pribadi sempat ternganga atas apa yang telah disuguhkan beberapa stasiun televisi Indonesia kepada publik. Ternyata film itu mengungkap konglomerasi media, yang tentunya di hiasi dengan permainan politik di dalamnya. Lantas timbullah pertanyaan dalam hati saya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Betapa tidak, ribuan media yang ada di negara ini ternyata dikuasai segelintir orang saja. Sehingga, stasiun televisi dijadikan alat untuk baku hantam antar politikus. Hal itu terbukti di beberapa gambar dalam fil ini. ketika Hari Suwandi-Harto Wiyono melakukan aksi perjalanan Metro gencar memberitakan perjuangan dan penderitaan yang dialami warga Sidoarjo. Sedangkan TV One, dengan entengnya mengatakan, bahwa pejalan itu diduga bukan warga Sidoarjo. Siapa yang benar?

Semuanya benar, keduanya memberitakan dengan cara jurnalistik. Hanya berbeda angle dalam memberitakannya. Tapi jika dicermati, terlihat jelas perang politik tengah berlangsung. Bagaimana tidak Metro gencar memberitakan masalah Lumpur Lapindo, tak lain karena Surya Paloh  adalah bosnya Metro, yang tujuannya menjatuhkan citra ARB selaku Bakrie Group. Sebaliknya pula, TV One selalu mencari celah untuk memberitakan masalah lapindo, ya karena tadi, Bakrie adalah pemiliknya.

Dua orang ini yang kelak 2014 akan mencalon sebagai presiden RI, dari partai Golkar dan Nasdem. Tentunya mereka akan memanfaatkan stasiun tv mereka untuk media pencitraan dan pembunuhan citra baik lawan politiknya. Saya menjadi ngeri saja, jika kelak negara ini dipimpin oleh pemimpin yang seperti itu. Bagaimana nasib negara Indonesia?

Sudah saatnya warga Indonesia membuka mata, dan mencermati dengan sebenar-benarnya. Tidak serta mencerna dengan mentah-mentah berita yang disajikan oleh media. Selalu mewaspadai siapa dan media apa yang memberitakan. Tentunya negara ini haus dengan media yang independen, yang jauh dari kepentingan beberapa gelintir orang atau politik tertentu.
Jadi, siapakah yang pantas dan memimpin negara ini, semu ada ditangan warga negara ini. Jika salah pilih, maka negara yang sudah kehilangan taring harimaunya ini, mungkin akan menjadi seokor kucing yang mengaih kepala ikan di seberang

Ibil Ar-Rambany
                            


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


5 thoughts on “INDONESIA KRISIS MEDIA INDEPENDEN

    1. Siap bos,,,
      Pemilu iini, kita golput aja giman?

      BalasHapus
      Balasan
      1. siap, asyik... golput (golongan pencari uang tunai) he..

        Hapus
      2. Lha,,,, mukamu tuh yang pencari uang tunai...
        tapi ngomong, untuk pemilihan tahun depan kok g ada yang pantas jadi presiden ya,,,, hehehe

        Hapus
    2. gimana bos? kayaknya kamu oknumnya,,,,, :)

      BalasHapus
    3. GAN,,,, punya file film nya kagak?
      kalo punya hubungin gw ya,,,, ni nombor gw,,, 08996786542

      BalasHapus

    Terimakasih atas kunjungan anda....