BREAKING NEWS
Search

ISLAM RAMAH, BUKAN ISLAM MARAH




          Bruakk…
          Bruakk…
          Gedubraak..
         

Orang-orang berjubah putih itu masuk dengan tiba-tiba dan beringas, merusak segala yang dilewatinya.
         
“Allaahu akbar, Allaahu Akbar..,” mereka bertakbir seakan-akan dalam situasi perang jihad, bahkan hampir seperti kesetanan. Sambil mengacung-acungkan pentungan yang mereka bawa. Tentu dengan senjatanya, selain untuk menghancurkan barang-barang yang ada dalam diskotik itu, juga untuk memukuli orang-orang pengunjung diskotik yang kebetulan berada di depan mereka.
         
“Hancurkan tempat maksiat dan penuh kekafiran ini,” teriak marah seorang dari mereka. Yang lainnya pun menyambut dengan teriakan-teriakan yang hampir serupa.
         
Suasana sungguh kacau balau. Para pengunjung diskotik itu juga banyak yang berteriak ketakutan, terutama yang wanita, menambah suasana kekacauan lebih kacau. Mereka berlarian. Berebutan mencari jalan keluar. Menghindari tamu tak diundang yang merusak itu.
         
Tapi tamu tersebut tak membiarkan para pengunjung diskotik keluar begitu saja tanpa merasakan pukulan satu, dua kali dari pentungan yang dibawa serta. Mulai dari pukulan ringan sampai yang sangat keras. Bahkan ada beberapa pengunjung yang sampai terjungkal ke lantai karena pukulan itu. Setelah dipukulpun ternyata para pengikut masih tetap ditangkap selayaknya maling ayam di pasar.
         
Semakin lama situasi semakin panas. Dan…
         
Klik…
XXX
         
Kumatikan layar TV sesegera mungkin. Walaupun kulihat kejadian tadi melalui layar TV, dengan sudut pandang kameramen suatu perusahaan televisi swasta yang selalu menempatkan diri di belakang orang-orang berjubah, aku tetap merasa muak melihat aksi mereka. Sungguh…ada yang tidak benar dari perbuatan tadi. Menurut reporter yang melaporkan kejadian itu, mereka yang berjubah putih itu mengatasnamakan kelompoknya sebagai wakil dari umat Islam, bertujuan menghapus kemungkaran publik. Sebenarnya aku sedikit setuju dengan tujuan mereka itu, tapi cara mereka syarat dengan kekerasan dan pemaksaan bahkan dengan pengrusakan itulah yang entah mengapa membuat aku muak, dan hampir muntah dibuatnya.

XXX
         
“Din, kamu itu rada aneh ya?” tanya temanku suatu pagi di sekolah. Beberapa hari setelah menonton berita memuakkan itu.

          “Aneh bagaimana?” jawabku sekenanya.

          “Ya… jujur, kamu dibandingkan kita-kita, di SMA ini, sudah yang paling medok Islamnya.

          “Oh…ya?” jawabku sekali lagi sambil lalu. Sibuk menambal catatan yang ketinggalan.

          “Beneran. Tapi anehnya kamu itu lho kok nggak ikutan kumpulan ‘ikhwan-ikhwat-an’ sih? Dan juga kamu terlihat santai aja temenan dengan kita-kita yang notabenenya bisa disebut anak nakal, sering keluar malam, dugem, cewekan, dan macam-macam lagi, walaupun kamu nggak ikutan seperti kita-kita. Emang ada apa sih?” tanyanya untuk kesekian kali. Terlihat sangat penasaran temanku ini.

          “Karena aku berbeda dengan mereka, dan lebih cocok dengan kalian. Puas?” kataku dengan melihat wajah bengongnya . Dan aku sedikit geli melihat itu.

          “Belum. Tanya satu kali lagi, maksudnya beda gimana?”

          “Beda maksudnya ya nggak sama babar pisan, eh…nggak deng, ya beda dalam hal-hal tertentu. Sudah ah… pokoknya seperti itu. Males aku setiap hari kok nanya itu-itu terus. Eh gimana kabar cewekmu yang baru kamu tembak dua hari lalu itu?” tanyaku balik ke dia.

          “Baik-baik, mulai lagi dah, putar haluan ke pembicaraan yang lain.

          “He..he.. Alhamdulillah kalau gitu, kali ini kamu harus langgeng lho sama dia. Masak gonta-ganti terus, pa nggak bosen tuh? Waduh sudah hampir bel masuk nih, catetanku belum selesai lagi”

          “Ya…ya…sana terusin nyatatnya, tapi entar aku minjem lho.

          “Oke bos,” kataku. Kemudian kuteruskan kerjaan mencatatku tadi.

XXX

          Namaku Zainudin, dan itulah dialog yang hampir setiap hari kulakukan di sekolah, sama siapa saja. Mereka keheranan melihat sikapku itu. Bagi mereka aku orang yang agamis, Islamis, atau sebagainya, mungkin dilihat dari sikapku ya? Itu terserah mereka, tapi bukankah juga terserah aku untuk tidak ikut semacam kumpulan ke-Islaman. Aku tidak cocok aja sama hal-hal semacam itu. Walau sering kali salah satu dari mereka mengajak aku untuk gabung dengan kumpulan mereka, bahkan di tawari sebagai Roisnya (semacam ketua) dan tentunya aku tolak dengan halus pakai alasan sudah sangat sibuk tanpa ikut ke kumpulan mereka Anehnya itulah yang membuat mereka dari kumpulan maupun tidak, menjadi keheranan, entah kenapa?

Ke-tidakcocok-anku karena anggota kumpulan ke-Islaman di sekolahku itu terkesan seperti merekalah yang paling sholeh, paling beriman, paling patut ditiru dan paling-paling yang lainnya sesekolah. Bah…apa itu…
XXX

Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, waktunya istirahat. Tinggal tunggu bel.
         
Teet…teett..
         
Teman-teman pada keluar, ada juga yang tetap di kelas, entah malas keluar atau malah tidak punya uang
untuk ke kantin. Dan aku termasuk orang yang langsung keluar. Bukan karena lagi punya uang banyak, tapi biar punya uang banyak dan tidak jamuran di kelas nantinya.

          “Din, yuk ke kantin, sarapan!” ajak temanku yang lain.

          “Ya, duluan saja, entar nyusul,” tolakku

          “Emangnya kamu mau kemana dulu?” dia bertanya

          “Ini lho mau minta rejeki biar bisa nraktir kamu nantinya,” jawabku jujur

          “Mau minta sama siapa? Dimana?” tanya temanku bingung.

          “Minta sama Allah di mushola lah, gimana sih. Duluan ya,” jawabku, sekali lagi dengan jujur

          “Apa?” temanku terbengong. Tapi aku nggak terlalu memperhatikan karena langsug pergi ke mushola tergesa-gesa, takut keduluan bel masuk nanti.

Aneh jawabanku pasti membuat orang terbengong, sudah banyak buktinya, dan contohnya tadi pagi dan barusan saja ada korbannya. Tapi tidak apa-apa, lucu, lumayan untuk hiburan he…he… Lagian temanku tadi juga keterlaluan, masak baru sadar kegiatanku yang setiap istirahat kulakukan mulai tahun pertamaku disini.

Wah, ternyata aku kurang diperhatikan ya kalau istirahat,” batinku, sedih juga rasanya.

Sesampai di mushola kulihat, seperti biasa, ada teman-teman kumpulan ke-Islaman, atau apalah istilahnya, yang sudah mangkal duluan disana. Mereka itu sebenarnya lari atau apa ke musholanya?”, pikirku.

“Assalamu’alaikum ya ikhwan,” salamku pada mereka, sambil coba-coba ber-ikhwan-ikhwan-an.

“Wa’alaikum salam,” jawab mereka. Dan salah satu dari mereka yang sering berusaha mengajak aku ke kumpulan mereka mendatangiku.

“Kaifa haluk ya Akh Zainudin? Mau sholat Dhuha ya?” tanyanya.

Khoir…kayak biasanya,” jawabku.

“Alhamdulillah Akhi akhirnya berubah pikiran dan ingin bergabung ke kumpulan kami kan?” tanyanya lagi sambil menampilkan senyum yang sumringah.

“Alhamdulillaaah…’Tidak’, pikiranku juga masih seperti biasanya kok, tidak ada perubahan,” jawabku dengan jelas tapi tidak menyentak, tentu hiasan senyuman yang indah tertampilkan di wajahku. Sayang seketika itu juga senyumnya lawan bicaraku hilang terganti wajah kecewa. Lucu juga perubahan mimik wajah seperti itu.

“Lha tadi maksudnya apa?” tanyanya penasaran.

“O…tadi itu aku baru belajar bahasa Arab kok, nggak usah dipikirkan. Dah ya, mau wudlu dulu nih,” jawabku sambil lalu. Dan korban untuk hari ini bertambah. Ya Allah ampunilah dosaku karena terlalu banyak membuat orang bingung. Amin.

Akupun berwudlu seperti biasanya, kemudian dilanjutkan sholat Dhuha seperti biasa, berdo’a setelah sholatpun seperti biasa pula.

Dan inilah yang tidak biasa datang…

Ketika aku sedang memakai kembali sepatuku, dan bersiap ke kantin. Datanglah seseorang yang tidak disangka-sangka. Seorang cewek, cakep, sayang tidak pake jilbab. Dan aku kenal dia, siapa  yang tidak kenal cewek ini. Anes namanya. Hmm…mau apa dia? Masak mau sholat Dhuha seperti aku? Mungkin aja sih,” pikirku.

“Assalamu’alaikum,” Salamnya.

“Wa’alaikumsalam,” Jawabku seketika dan kaget, ternyata yang menjawab aku sendiri. Otomatis kuputar tubuhku dan kutemukan diriku sendiri di mushola ini, dan dia menuju kesini, di tempatku sendiri. “Bahaya-bahaya”, alarm bahaya di otak berbunyi. Harus segera menyingkir nih. Mungkin dia mau sholat. Maka biarkan dia sholat sendiri. Dijamin di mushola ini gak akan ada yang gigit kok. Waduh pikiranku sampai kemana-mana. Tenang…tenang...dan menyingkir dengan tenang. Oke misi dilakukan. Dan akupun beranjak dari tempatku dengan tenang. Tapi sebelum ada tanda-tanda “mission completed” keluar sebagai berakhinya misi, dia nyeletuk,”Eh…mau kemana?”.

Akupun clingak-clinguk cari orang yang ditanyai Anes. Dan tidak ada siapa-siapa. “Maksudmu aku?”, aku tanyai dia.

“Ya iyalah, emang ada siapa lagi disini”, jawabnya sambil tersenyum geli. Akhirnya aku jadi korban setelah memakan banyak korban.

“Aku mau bicara sama kamu Din, sebentar aja, eh mungkin sedikit lama sih”, katanya lagi. Kali ini dengan mimik muka lebih serius.

Karena melihat keseriusannya akupun menanggapinya dengan serius pula, “Mau bicara ya? Oke..tapi jangan disini. Kita cari tempat yang lebih ramai. Gimana?”.

“Oke terserah kamu”, jawabnya nurut.

Dan kamipun berjalan, dengan aku berjalan lebih cepat biar aku tetap berjalan di depannya. Bisa berabe nanti kalau kami jalan bersamaan.

Akhirnya kami sampai di bangku yang bertempatkan di tengah-tengah banyak orang yang berlalu-lalang. Kupersilahkan dia duduk duluan, dan aku menyusul duduk di bangku yang berhadapan dengan bangkunya. Kalau aku duduk di bangku yang sama bisa dipastikan alarm bahaya akan berbunyi lagi nanti. He..

“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sedang di Mushola?”, aku memulai pembicaraan.

“Ya…semua orang tahulah kalau kamu setiap istirahat pasti perginya ke Mushola, lagian kuperhatin kamu memang ke Mushola setiap istirahat”, jawabnya.

“O…”, Hehe..ternyata banyak yang merhatiin aku ya…apalagi yang merhatiin kali ini cakep orangnya. ‘Hus Jangan mikir yang macam-macam lagi’, suara dari otakku memperingati. Eh…kalau begitu temanku yang nggak tahu kebiasaanku tadi ketinggalan jaman dong. Kasian…

“Jadi mau mambicarakan apa nih Nes?”, tanyaku lagi.

“Hmm sebenarnya masalah ini mau aku tanyain sama teman-teman dari kumpulan itu, tahukan?”, katanya sambil menunjuk teman-teman dari kumpulan ke-Islaman atau apalah. Akupun mengangguk, tanda mengerti.

“Tapi sepertinya mereka memandang sebelah mata aku, jadinya ya nggak sreg gitu. Kan malu nanya serius-serius malah nggak ditanggap. Makanya aku tanya kamu aja. Bolehkan?”, lanjutnya.

“Boleh-boleh aja, kalau aku bisa jawabannya insya Allah kujawab sesegera mungkin. Tapi ya ma’af aja kalau ilmuku juga belum nyampe, kalau seperti itu akan aku tanyain ke orang yang lebih bijak”, jawabku sebisanya. Gugup juga berhadapan dengan Anes di bangku gini.

“Terima kasih”.

“Entar aja terima kasihnya, kalau aku bisa jawab masalahmu itu. Jadi apa masalahmu?”, tanyaku penasaran.

“Gini Din, kamu lihat nggak berita yang akhir-akhir ini sering ditayangkan di TV. Yang tentang penggrebekan tempat-tempat aliran sesat itu?”, dia mulai menceritakan masalahnya dengan pertanyaan.

“O…itu, ya…aku pernah lihat, kenapa?”, aku tahu pasti tentang tayangan itu. Karena itulah yang membuat aku muak untuk melihat lagi kalau-kalau ada tayangan ulang. Ternyata benar, tayangan itu diulang-ulang. Atau lebih parah malah, kejadian itu dilakukan berulang-ulang di tempat-tempat yang berbeda. Masya Allah.

“Ya…gimana gitu Din, berita itu terasa sangat mengganjal. Jujur aku dilahirkan sebagai orang Islam, tapi aku juga pecinta kedamaian. Dengan adanya berita itu yang jelas-jelas menayangkan kekerasan umat Islam terhadap yang berpaham lain membuat ideologiku dan agamaku saling bertentangan. Makanya aku jadi bingung, dan sekarang aku bertanya sama kamu tentang itu, karena aku yakin orang sepertimulah yang bisa menjawab keganjalan hatiku ini”, jelasnya. Waduh pujian lagi, pujian lagi. Tenaaang…tenaaaang…

Sambil menenangkan diri, kujawab dengan pelan, “Anes, akupun juga dilahirkan sebagai orang yang beragama Islam dan Islam adalah agama yang berhaluan perdamaian. Dan itulah tabiat mereka yang memegang teguh ajaran Islam yang benar-benar tahu akan ke-Islam-an, bukannya sok tahu akan Islam saja”.

“Lalu, apakah mereka tidak tahu akan Islam? Tentunya mereka juga belajar tentang Islam kan? Bukankah aneh kalau mereka juga tahu akan Islam itu berhaluan perdamaian, eh tapi masih seperti itu kelakuannya?”, tanyanya dengan bingung.

Waduh, sulit…sulit… untuk aku yang juga masih kurang ilmunya menjelaskannya. Apalagi menjelaskannya di depan cewek cakep seperti dia. Tambah gugup aku. Tapi aku harus mencoba menjelaskannya. Kasihan dia kebingungan.

“Kamu benar, mereka mengetahui itu dan mengatakan bahwa kelompok merekalah Islam yang paling benar”, kataku, lalu diam, mencari kata-kata yang pas. Untung Anes Pengertian, dia tidak menyelaku ketika aku sedang berfikir. Ini sangat membantu.

Akupun melanjutkan, “Walaupun mereka mengaku berpaham dan berlabel Islam tapi perilakunya terkesan radikal, penuh tindak kekerasan, dan merasa hanya kelompoknya yang paling benar dan paling Islam. Kelompok lain yang tidak sama dengan paham mereka dianggap salah dan bahkan keluar dari Islam. Padahal justru dari perilaku mereka itu akan menimbulkan cap negatif terhadap Islam secara keseluruhan yang sejatinya mempunyai misi rahmatan lil’alamin. Perilaku semacam itu juga dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam, seperti kamu yang mulai meragukan ke-Islamanmu. Itulah yang membedakan antara yang sok tahu dengan yang benar-benar paham akan Islam”, kataku panjaaaang sekali, sampai aku tidak percaya aku yang mengatakannya.

“Owh, jadi sebenarnya Islam itu tidak seperti yang mereka bawakan, karena sebenarnya Islam itu agama yang penuh perdamaian,” kata Anes.

“Alhamdulillah, jadi kamu tidak perlu bingung, karena sekarang kamu mengerti Islam itu ramah bukannya marah, dan sekarang idiologimu akan perdamaian dengan agamamu tidak bertolak belakang, asal tahu saja Islam itu agama yang penuh dengan kearifan,” kataku lagi sambil tersenyum.

“Emm tapi bisa tolong jelaskan sekali lagi tentang kearifan Islam dong?” lagi-lagi dia bertanya dengan wajah harapnya yang membuat aku tidak bisa menolak. Siapa saja tidak bisa menolak.

Oke, Islam penuh dengan kearifan. Dengan kearifan inilah yang seharusnya memandu umat Islam untuk tidak mudah berperilaku seperti ‘preman berjubah’ yang berteriak ‘Allahu Akbar’ sambil mengacung-acungkan senjata untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat. Seakan-akan mereka benar secara mutlak dan orang lain salah secara mutlak. kearifan ini pula yang seharusnya memandu umat Islam untuk menolak ajaran-ajaran aqidah yang dimiliki oleh garis keras. Dan kearifan ini adalah sebuah sikap seimbang yang teguh dengan pendiriannya, tapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain”, sekali lagi aku spontan menjelaskannya secara panjang lebar. Aneh ada apa dengan diriku.

“Ooo…jadi pendapat kita adalah benar, tapi tidak menutup kemungkinan untuk salah. Dan pendapat orang lain salah, tapi mengandung kemungkinan untuk benar. Maksudnya gitukan?”, katanya, mengambil kesimpulan dari perkataanku.

Tepat…”, jawabku dang senyum simpul.

“Sip bagus, masuk akal kearifan itu. Dengan begini aku sudah tidak memusingkan lagi masalahku. Terima kasih banyak ya”, dia berkata dengan tersenyum manis sekali. Sangat manis.

Deg…deg…deg…kudengar suara jantungku berdetak lebih keras dari pada biasanya. Jaga hati…jaga hati…dan pikiran.

“….sama…saaama…”, itulah kata yang keluar dari mulutku, dengan sedikit terbata-bata. Untung dia tidak begitu merhatikan.
         
“Eh…sudah dulu ya. Entar kapan-kapan kita nyambung lagi. Menyenangkan sekali dapat berbicara sama kamu. Sekali lagi terima kasih”, diapun pergi dengan memberiku senyum terlebih dulu. Sekali lagi senyum yang sangat manis. Dan sekali lagi suara genderang jantungku terdengar lagi.

          Sebentar! Suaranya sedikit beda dari yang pertama tadi. Sedikit lebih nyaring. Dan pusat suaranya tidak dari jantung, lebih ke bawah.
          Suara yang kubingungkan keluar lagi, kali ini lebih keras. Dan langsung bisa kuidentifikasi.


          Ternyata…?!

Aku sedang kelaparan!! Belum ke kantin tadi. He..he..

Penulis: Muhammad Fahdi, Mahasiswa semester akhir UIN Jakarta


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “ISLAM RAMAH, BUKAN ISLAM MARAH

    Terimakasih atas kunjungan anda....