“Inilah yang kau
akibatkan,” tuduhku terhadapnya.
“Tentu saja, tidak
lain karena aku ingin menjadi penyebabnya,” ucapnya dengan dada terbusung.
Kami akhirnya
bertemu di penghujung ini. Atau tepatnya, saat ini inginku jadikan pengujung
dari segala. Pertemuan dengannya bukanlah tanpa kesengajaan, bahkan telah
terkontruksi sebelumnya, pada senjang waktu yang lama sebelum kini.
“Ini karenamu,”
ucapku kembali.
Dia hanya tersenyum
mendengar ini, tersenyum lebar, bangga.
“Itulah tugasku,
tugas suciku, dan sedang terlaksana,” katanya.
Kami berhadapan,
saling tatap. Kali ini dirinya demikian jelas di penglihatanku, sebagaimana aku
yang semenjak dahulu sudah begitu jelas di penglihatannnya. Pun juga sejelas
pengetahuan kami akan tugas suci, tugas suci kami masing-masing.
Tapi ada suatu kejelasan
bagiku yang harus tidak jelas baginya. Yakni kontruksi siasatku sedang berjalan
dengan lancar saat ini. Sejauh ini.
“Tugas suci yang
kotor,” umpatku.
“Hahaha… bagiku
tetaplah tugas suci yang suci. Yang membuat tugasmu menjadi buruk, karena
gagal,” dan tawanya berlanjut, membuatku muak.
“Kau salah,
bukannya gagal, hanya sekadar terganggu,” ujarku.
Lalu dia
memicingkan penglihatannya, mendengar ujarku. Heran. Tidak percaya.
“Bagaimana bisa?”
“Ha..ha..ha..,”
kali ini aku yang tertawa. Sesuai dengan rencana.
Aku pun
melanjutkan, “ Ternyata kau tidak mengerti tugas suciku.”
“Kau memandangku
terlalu rendah, tentu aku mengerti,” katanya. Dan akan melanjutkan.
Aku tunggu lanjutan dari perkataannya, inilah yang akan menyempurnakan
kontruksi rencanaku, tentunya juga kesempurnaan tugas suciku.
“Ah…hampir saja aku
kau tipu. Tidak. Aku tidak akan menjelaskannya. Tidak bisa aku kau tipu dan kau
giring ke arah situ,” lanjutnya.
Aku tercengang
mendengar ini, “Maksudmu?”
“Kau memanglah
gagal, sesuai dengan tugasku. Karena kau tidak mengerti, hanya tahu akan
tugasmu itu. Ha..ha..ha..kau gagal,” dia pun melangkah menjauhiku sambil
tertawa.
“Kau memang musuhku yang nyata, Syetan!” teriakku mengarah punggungnya yang
tergerak-gerak karena tertawa, dan tawanya semakin keras, sekeras rubuhnya
kontruksi siasatku.
“Kau tidak akan
mengerti, hanya tahu tugasmu untuk menjadi saksi Tuhan di muka bumi[*].
Tapi tidak akan mengerti esensinya. Bodoh…ha..ha..ha..,” ucapnya keras tanpa
berbalik badan sambil lalu. Lalu hilang.
Dan aku sekarang
sendiri bersama kesunyian, bersama kebodohanku, bersama kegagalanku, juga
bersama kemuakanku karena tawanya semakin terngiang.
Muhammad Fahdi
[*]
Sesuai dengan isi buku “Membaca Nurkholis Madjid”, adalah tugas suci manusia
sebagai saksi-saksi Tuhan menjunjung tinggi keadilan dan memandang segalanya
dengan berimbang.
Terimakasih atas kunjungan anda....