Aminah, menanggung akibat dari hubungan haramnya dengan pacar adiknya, Maria Zaitun. Ia pergi mencari Maria Zaitun ke Jakarta dengan bayi dalam perutnya.
Aminah menginjakkan kakinya di Stasiun Jaya Negara, Jakarta. Dengan tas di bahu dan rambut kepang samping menandakan bahwa Aminah adalah gadis desa. Tujuannya ke Jakarta adalah mencari Maria Zaitun. Tak ada orang lain di Jakarta selain adiknya itu. Ia pun bingung harus melangkahkan kakinya ke mana. Ia masih sangatawam dengan kota ini. Hanya tatapan kosong yang ada di wajahnya, tangannya mengelus perutnya, dan mulutnya bergumam “Aku wanita dengan badai di perut.”
Semakin hari, hidup Aminah semakin terlunta-lunta. Bekalnya semakin menipis. Demi mempertahankan hidup, ia pun memutuskan bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi. Di mana ada peluang, ia selalu mencoba menawarkan dirinya. Namun, nasib baik belum juga berpihak kepada Aminah. Setiap ia memasuki warung, toko, dan tempat-tempat yang sesuai dengan kemampuannya, ia hanya kembali dengan tangan hampa, bahka dengan bonus cacimakian. Tak sekadar itu yang Aminah dapatkan, ia ditawari menjadi pelacur, dengan tegas ia pun menolaknya.
Aminah terus berusaha, hingga ia diterima bekerja di sebuah restoran. Ia merasa senang bekerja di restoran tersebut, di hari pertama ia merasakan bahwa juragannya seorang yang ramah, di hari kedua ia banyak mendapatkan pujian dari juragannya, di hari ketiga, sikap jurgannya seperti kebapakan. Namun, di hari keempat juragannya berbuat kurang ajar kepadanya, juragannya merayu dan berani meremas pantatnya, di hari kelima dipeluk dan dicium.
Semakin hari, kelakuan bosnya semakin menjadi, hingga puncaknya ia ditawari menjadi model bugil oleh bosnya, tentunya dengan diiming-imingi imbalan yang sangat besar. Namun, dengan tegas Aminah menolak tawaran tersebut. Akhirnya, ia pun memutuskan keluar dari tempatnya bekerja.
Ia teringat kertas kecil dalam tasnya, kertas kecil yang bertuliskan alamat di mana adiknya tinggal. Ia keluarkan kertas itu, ia pandangi dengan seksama “Jalan Delima.” Ia yakin adiknya ada di alamat yang tengah ia pegang. Tanpa berpikir lama, Aminah pun melangkahkan kakinya menuju alamat tersebut.
“Saya, sudah lama tinggal di sini, tapi tak ada tuh yang namanya Maria Zaitun,” kata lelaki bertubuh gempal yang tinggal Jalan Delima. Setelah mendengar kata-kata itu, aminah pamit undur diri. Ia semakin bingung, apakah salah alamat yang telah diberikan adiknya.
Esoknya, Aminah mendapat kabar bahwa Jalan Delima ada dua, barat dan timur. Ia memutuskan pergi ke Jalan Delima satunya. Setelah sampai, ia heran, kenapa malah kantor polisi yang ia dapati. Kemudian ia menemui penghuni kantor itu. Menurut penuturan polisi ia tahu bahwa Jalan Delima yang kemarin ia sambangi adalah tempat pelacuran.
Kemudian ia kembali ke Jalan Delima yang kata polisi adalah tempat pelacuran. Seampainya ditempat pelacuran tersebut Aminah bertemu dengan wanita yang kemarin ia temui. “Mau apa lagi, cari Maria Zaitun?” tanyanya kepada Aminah. Aminah pun menganggukkan kepala sembari menyodorkan foto adiknya. Spontan mimik wajah wanita tersebut berubah sedikit serius. “Owh, ini memang pernah tinggal di sini dua tahun yang lalu. Tapi namanya bukan Maria Zaitun, melainkan Aminah. wah dia sekarang harganya sudah mahal,” kata wanita tersebut.
Aminah, sangat bersedih mendengar wanita tersebut, yang ternyata adalah seorang mucikari. Ia teringat bayi dalam perutnya, terbersit dalam pikirannya untuk menggugurkan bayinya tersebut. Namun, ketika sampai di rumah sakit dan proses pengguguran akan dimulai, Aminah malah mengurungkan niatnya.
Ia bangkit dari dipan tempat ia akan melangsungkan aborsinya, sekadar menuju jendela kaca yang menghubungkan dengan ganasnya alam Jakarta. Tangannya mengelus perut yang semakin lama semakin membuncit, seraya berkata “Aku wanita dengan badai di perut.”
Ibil Ar-Rambany
(inspirasi dari mata dan gemercik air got)
Terimakasih atas kunjungan anda....