Di suatu
waktu yang terpaut jauh di depan dari sekarang. Ketika seluruh manusia sudah
menilai buruk adalah baik, tidak ada lagi kebaikan (penilaian sekarang). Tolong
menolong adalah buruk, orang yang menolong bahkan dianggap bodoh, goblok.
Sebaliknya, mendholimi dianggap biasa, bahkan semakin mendholimi semakin
dianggap hebat. Kalaupun ada yang menolong, itu pun sebenarnya mendholimi. Umpamanya
perbankan yang sepertinya menolong dengan mengucurkan dana pinjaman, tapi
sebenarnya dibalik itu ada bunga yang tinggi, tentu saja membuat orang susah.
Begitu
juga dengan memuji, dianggap buruk sekali. Sebaliknya semakin mampu
mengolok-olok orang lain dianggap memiliki kemampuan yang hebat. Makanya, saat
itu media massa yang semakin mampu mengolok-olok, mempergunjingkan orang,
ratingnya semakin meluncur ke atas. Dan juga dengan macam keburukan-keburukan
yang lainnya. Semua orang berlomba-lomba melakukan keburukan.
Lantas,
bagaimana dengan Al-Qur’an dan kitab-kitab lain yang notabenenya memuat
berbagai macam nilai kebaikan? Tanya saja pada orang-orang jaman itu, pastinya
mereka akan menjawab kira-kira seperti ini.
“Apa?”
tanya mereka dengan mengingat-ingat, “Oh, itu buku-buku kuno yang menumpuk di
museum. Yang diraknya ada tulisan ‘buku-buku kuno, memuat pemikiran-pemikaran
jaman dulu yang terbelakang’. Hm...kabarnya museum itu mau ditutup karena hanya
buang-buang uang untuk perawatan dan isinya mau dibakar karena memang tidak ada
gunanya,” lanjut mereka.
Itulah gambaran
masyarakat saat itu, peradaban berjalan dengan penuh kebohongan, kecurangan,
gosip-gosip negatif merebak, dan tentu saja kemaksiatan merajalela.
Menjauh
dari peradaban manusia, menuju suatu tempat yang jauh, tempat yang menyiratkan rahasia
kegaiban dunia lain. Terdapat singgasana yang mewah di ruangan yang gemerlapan
penuh dengan intan permata, di situlah iblis duduk dengan tidak nyaman, dari
raut wajahnya menyiratkan kebingungan.
“Kurang ajar manusia, kenapa mereka terlalu mudah dibujuk
rayu oleh pasukan syetanku, hingga tidak ada lagi yang mampu bahkan tahu apa
itu kebaikan sebenarnya.”
Iblis pun tahu, ketika semua kebaikan di dunia ini sirna,
maka Tuhan akan menurunkan kiamatnya. “Tapi, terlalu singkat hidupku di dunia
ini semenjak jaman Adam dulu. Belum cukup senang aku di sini. Belum saatnya aku
sengsara di neraka,” pikir iblis.
Sambil memutar otaknya yang cerdas, terbersit dalam benak
iblis, “Sampai sejauh ini, kiamat masih belum terjadi. Logisnya, kebaikan masih
belum benar-benar sirna dari muka bumi.”
Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, bahkan melebihi
kecepatan cahaya, iblis menghilang dari singgasananya. Saat itu juga dia muncul
di sebuah lapangan, yang dipenuhi-sesak oleh tentara-tentara syetan. Wajah para
syetan ini terlihat cemas, karena sudah satu minggu ini mereka di non-aktifkan
oleh raja mereka, Iblis.
Usut
punya usut, ternyata memang sudah tidak ada lagi yang bisa para syetan ini
lakukan. Manusia sudah tidak memerlukan lagi bujuk-rayu syetan untuk melakukan
keburukan, karena buruk, bagi manusia sudah tidak berarti buruk lagi. Mereka
cemas, jangan-jangan akan ada PHK besar-besaran dari pekerjaan menjadi syetan.
Kalau pemecatan terjadi, dari mana lagi mereka akan memberi nafkah untuk
keluarga.
Kecemasan
para syetan ini terlihat oleh iblis, dan dia berkata, “Tenang
tentara-tentaraku, aku sebagai raja kalian yang baik, tidak akan memecat satu
pun dari kalian. Tapi aku tugaskan pada kalian, cari hingga dapat orang yang
masih menyimpan kebaikan dalam hatinya di dunia ini. Setelah kalian temukan.
Segera laporkan padaku.”
Bersorak-sorailah
para syetan, “Siap paduka Iblis, laksanakan,” dan merekapun lenyap dari hadapan
iblis untuk menunaikan tugas.
Selang satu hari, di kerajaan iblis, terlihat
iblis sedang duduk dengan seenaknya di
singgasana. Wajahnya menyiratkan kegembiraan, karena di depannya bersimpuh
sesosok syetan sedang melapor, “Lapor paduka, tadi malam hamba melihat
segerombol malaikat turun dari langit,” lapor syetan dengan semangat, “hamba
ikuti para malaikat itu tanpa mereka ketahui, ternyata mereka menuju ke sebuah
lembah yang jauh sekali dari peradaban. Di lembah tersebut ada sebuah rumah
reot tapi memancarkan cahaya yang menyilaukan. Ternyata setelah hamba dekati
ada seorang manusia yang sedang sholat malam bersama istrinya.”
Seketika
iblis berdiri dan berkata, “aku terima laporanmu, sekarang biar aku yang turun
tangan sendiri,” dan hilanglah iblis.
Di
sebuah lembah terpencil yang jauh sekali dari segala macam peradaban manusia. Ada
seorang tua, berbaju putih, dengan tongkat kayunya berjalan menuju rumah reyot,
wajah orang tua ini begitu tenang dan menyiratkan kecerdasan dan kebijaksanaan
tanpa batas. Itulah Iblis dengan ilmu penyamarannya, merubah bentuk wajah dan
tubuhnya. Siapapun tak kan tahu kalau orang tua itu adalah penyamaran Iblis.
Apalagi pasutri yang mendiami rumah reyot itu.
Melihat
ada orang tua yang berjalan menuju rumah mereka, suami-istri tersebut
terheran-heran. Pasalnya, belum pernah ada manusia di sekitar lembah ini
sebelumnya. Jauh sebelum ini.
Mereka
sendiri terjebak di lembah ini 20 tahun silam. Ketika mereka sedang berlibur ke
daerah ini, untuk menghilangkan kejenuhan hidup di perkotaan barang sejenak,
tanpa disangka-sangka kendaraan yang mereka naiki terperosok ke dalam lembah. Masih
untung mereka selamat dari kecelakaan itu. Tapi, ternyata setelah di kelilingi
beratus-ratus kali, lembah ini benar-benar buntu, tidak ada jalan keluar.
Dinding-dinding lembah begitu tinggi bepuluh-puluh meter dan terjal. Dan mereka
sama sekali tidak membawa alat komunikasi, karena niat mereka di awal memang
ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Dan tanpa dinyana, ternyata mereka
harus benar-benar putus hubungan dengan keramaian dunia sampai selama ini.
Entah
ada skenario apa dari Tuhan, yang jelas mereka masih diberi umur panjang dengan
hidup di lembah yang ternyata banyak terdapat ayam hutan dan dialiri sungai
yang penuh dengan ikan, belum lagi tumbuhan-tumbuhannya yang dapat hidup karena
tanahnya yang subur.
Itulah, mereka
merasa ini jalan hidup yang telah ditentukan oleh Tuhan, lantas mereka
mengikhlaskannya dan bersyukur. Begitu juga, mereka juga mengikhlaskan, ketika
ternyata mereka tidak bisa mendapatkan keturunan, mungkin akibat dari
kecelakaan yang menyebabkan mereka terjerumus di lembah ini.
Dengan
berbekalkan ilmu pengetahuan dan segala macam peralatan tool-box, yang
ditemukan dari puing-puing mobil, mereka mulai bertahan hidup. Selama ini
mereka mulai membudidayakan ayam hutan agar tidak kehabisan nantinya, dan
membuat kebun untuk bahan-bahan makanan mereka. Kehidupan baru mereka pun
dimulai dengan rutinitas yang benar-benar baru. Mereka bisa hidup tenang dan
beribadah tanpa gangguan. Sedangkan, apapun yang terjadi di dunia luar sana
mereka sama sekali tak tahu-menahu.
Orang
tua itu semakin mendekat.
Melihat
wajahnya yang tenang dan kelihatan bijaksana, kedua penghuni rumah tidak merasa
takut, hanya sedikit janggal karena selama ini belum pernah melihat orang lain
di tempat ini, apalagi orang yang bertamu.
Orang
tua itu sudah di depan pintu.
Tok...tok...tok...
“Assalamu’alaikum,” sapa orang tua.
“Wa’alaikum
salam,” jawab kedua penguni, dan sang suami membukakan pintu, lantas bersalaman
dengan orang tua. Tangan orang tua itu terasa hangat.
“Apa ini
rumahnya Hasan dan Mutmainnah?”
“Iya, Pak,”
Hasan menjawab, walaupun merasa aneh, dari mana orang tua ini tahu namanya dan
istrinya. “Silahkan masuk, Pak.”
Orang
tua itu tersenyum dan melangkah masuk, sambil melihat-melihat isi gubuk reyot
itu.
“Maaf,
Pak,” kata Hasan kepada orang tua, “Rumah kami memang segini-gininya, sekedar
gubuk yang reyot.”
“O...gak
apa, saya juga mengerti kok,” kata orang tua sembari tersenyum.
Dan
Hasan kembali bingung, “Dari mana dan bagaimana orang tua ini datang, dan
sekali-kalinya datang, serba tahu pula,” pikir Hasan.
“Silahkan
duduk, Pak,” Hasan mempersilahkan orang tua duduk di salah satu kursi buatan
sendiri. Di ruangan ini hanya ada dua kursi dan satu meja terbuat dari kayu
yang kasar buatannya. Untuk dia dan istrinya.
Setelah
orang tua dan Hasan duduk di kursi-kursi tersebut, Mutmainnah pergi ke kebun belakang untuk
menyiapkan buah-buahan dan mengambil air dari sungai untuk minuman. Dan selama
menyiapkan itu semua, pikiran Mutmainnah selalu penuh tanda tanya seperti suaminya,
tapi ada sedikit harapan dalam hatinya.
Dan
Mutmainnah kembali ke rumah dengan membawa buah-buahan dan air minum, dilihatnya
mereka masih duduk di tempat semula, keduanya diam.
Mutmainnah
menaruh makanan yang dibawanya di meja, “Silahkan dimakan dan diminum, Pak,
seadanya saja,” Mutmainnah mempersilahkan orang tua itu. Dan berdiri di samping
tempat duduk suaminya.
Orang tua
itu mulai meminum air. Sambil menunggu orang tua selesai minum, Hasan berkata,
“kami sudah lengkap sekarang, tadi Bapak tidak mau berbicara apa-apa dan
menjawab pertanyaan saya karena Istri saya tidak di sini, jadi silahkan
sekarang Bapak bercerita.”
“Ehm...,
tadi pertanyaan beruntunmu sangat lengkap sekali. Dan istrimu juga harus
mendengarkan jawaban ini, makanya saya menunggu kalian lengkap dulu”
“Baiklah,”
orang tua itu mulai berkata, “Saya ini hanyalah orang tua yang tinggal di
lembah seperti kalian, di seberang jauh di sana. Menjauh dari keramaian dunia
yang semakin tidak karuan. Dan tadi malam saya melihat banyak cahaya yang turun
dari langit menuju ke lembah ini. Saya bertanya pada salah satu cahaya yang
berada di dekat saya, dan cahaya itu menjawab dan bercerita segalanya tentang
kalian.”
Penuturan
orang tua ini penuh dengan keganjilan tapi tidak mungkin suatu kebohongan,
karena selain wajahnya menyiratkan kejujuran, terbukti orang tua ini tahu nama
mereka. Hal ini membuat pasangan suami istri ini sepakat dalam hati, bahwa
orang tua ini kemungkinan Wali Tuhan yang diberi karomah.
“Lantas,
Bapak ada keperluan apa dengan kami?” tanya Mutmainnah.
“Sebelum
saya menjawab hal itu, saya ingin bertanya dulu, apa kalian tahu bagaimana
keadaan dunia di luar sana?” Orang tua bertanya balik.
Tentu
saja keduanya menggelengkan kepala bersamaan, tanda tidak tahu. Kemudian orang
tua tersebut menceritakan segalanya yang terjadi di luar sana. Keduanya pun
terkejut dengan perubahan yang terjadi, mereka tidak mengira bakal terjadi
keadaan dunia seperti demikian.
“Karena itu,
saya bahagia sekali adanya kalian dan keadaan kalian di sini,” kata orang tua.
“Kenapa,
Pak?” tanya Hasan.
“Tentu
kita bertiga tidak senang dengan apa yang terjadi di dunia ini, saya ingin
berdakwah, tapi umur saya tidak memungkinkan, jadi adanya kalian memberi
harapan untuk mengembalikan cahaya keselamatan di muka bumi ini,” jawab orang
tua dengan tersenyum.
“Maaf,
Pak. Bukannya kami tidak mau. Tapi kami rasanya tidak yakin mampu berdakwah,
dan lagi pula kami terjebak di lembah ini,” kata Mutmainnah.
“Untuk
itu saya kesini, saya akan ajarkan pada kalian bagaimana berdakwah yang baik,
mengikuti sunnah Nabi. Dan setelah itu saya yang akan membawa kalian keluar
dari sini,” jelas orang tua.
Demikianlah,
orang tua itu mengajari mereka berdua berdakwah selama satu minggu. Kemudian di
kaki lembah dengan memegang pundak keduanya, mereka berdua diperintahkan
memejamkan mata, kedua suami-istri ini pun kaget karena kaki mereka tiba-tiba
serasa menjauh dari permukaan lembah dan melayang ke atas. Mereka pun semakin
yakin, itulah karomah seorang wali.
Sesampai
di atas, dengan bimbingan orang tua kedua suami-istri ini pun mulai berdakwah.
Sampai suatu saat orang tua itu menghilang tanpa ada kabar.
Kembali
di kerajaan Iblis. Terdengar suara tertawa terbahak-bahak.
Iblis
duduk seenaknya di singgasana kerajaannya, sambil tertawa.
“Manusia-manusia,
sebentar lagi mereka akan kembali ke fitrahnya, semakin banyak dan semakin
banyak. Pasukan tentara syetanku sengaja tidak kusuruh menyebarkan virus
keburukan dulu. Tunggu hingga pengikut suami-istri tersebut berjumlah banyak,
pastinya cepat, karena dasarnya manusia berhati baik, baru kesenangan mempermainkan
nafsu manusia dimulai,” pikir Iblis dengan tertawa.
Dan di
atas itu semua, pencapaian yang membuat Iblis bahagia adalah kiamat berhasil di
tunda. Itu pun pikir Iblis yang masih saja tertawa tak henti-hentinya.
(Ciputat, 11-05-2011)
Muhammad
Fahdi
Terimakasih atas kunjungan anda....