Aksi
kejahatan seolah tidak ada habisnya. Media massa maupun elektronik setiap hari memberitakan adanya aksi kriminal.
Mulai dari kejahatan kelas teri yang banyak dilakukan oleh penjahat kambuhan
sampai kejahatan kelas kakap yang dilakukan oleh penjahat berdasi. Penjahat
kelas teri kebanyakan melakukan kejahatan karena himpitan ekonomi, sedangkan
penjahat berdasi melakukan kejahatan dengan motivasi memperkaya diri, keluarga,
dan kroninya seperti pelaku korupsi dan mafia pajak.
Sudah
tak terhitung lagi berapa orang yang mengatakan hukum di Indonesia itu ibarat
pisau yang tumpul atas dan tajam ke bawah. Mereka mengatakan seperti itu bukan
tanpa alasan, karena kita melihat fenomena kasus-kasus yang terjadi, walaupun
tidak semuanya, tapi hukum di Indonesia lebih condong pada masyarakat kalangan
bawah. Mulai dari kasus pencurian ayam, pencurian sandal jepit, sampai
pencurian motor. Kalau kita boleh membandingkan, kasus kejahatan yang pelakunya
adalah masyarakat menengah ke bawah, selalu diusut sampai tuntas dan mendapatkan
hukuman yang berat, tapi bagaimana dengan pencuri uang rakyat dan Negara?
Jika
pencuri ayam dikatakan hina, seharusnya pencuri uang negara dikatakan nista. Jika pemerkosa dikatakan
tak beradab, seharusnya koruptor dikatan biadab, karena mereka telah memperkosa
hak-hak rakyat. Dan jika pembunuh dikatakan tak manusiawi, kita boleh
mengatakan bahwa koruptor itu tak tahu diri. Mereka manusia, tapi juga membunuh
manusia. Mari kita tengok kehidupan masyarakat pedalaman, masih banyak di
antara mereka yang tidak memakai benang, kekurangan makan, dan bahkan ada yang
meninggal karena kelaparan. Kalau sudah seperti itu, hukuman apalagi yang
pantas diberikan pada “pencuri, pemerkosa, dan pembunuh” kalau bukan hukuman
mati?
Ada
tulisan semacam aturan tertempel di daerah yang rawan pencurian sepeda motor.
“Pencuri motor, tembak di tempat.” Sekilas kita dapat melihat bahwa masyarakat
ingin pelaku pencurian sepeda motor dihukum mati. Kalau kita ambil mafhum
muwafaqahnya, pencuri motor saja dihukum mati, bagaimana dengan pencuri
uang rakyat yang membuat rugi banyak pihak dengan kebesaran komersilnya?
Ibarat
pohon, korupsi adalah cabang, sedangkan pembunuhan, pemerkosaan, dan pencurian adalah
ranting dari cabang tersebut. Dan cabang itu tidak menutup kemungkinan menumbuhkan
lagi ranting-ranting yang lain.
Tapi, biarpun hukuman yang paling cocok bagi koruptor adalah mati, tetap saja
Indonesia tak akan melakukannya. Karena di Negara yang korupsinya sudah
mendarah daging ini, memang sangat riskan rasanya jika koruptor harus diberantas
dengan hukuman mati. Karena siapa yang akan menjadi rakyat dan pemerintah jika
semuanya mati? Ketidakberdayaan pemerintah memberantas korupsi bisa
dikarenakan hal tersebut atau bisa juga karena virus suap menyuap biasanya
menggeliat dalam kasus ini.
Kalau
sudah seperti itu, hanya satu yang dapat dilakukan “warga Negara,” yaitu
mentaati peraturan-peraturan yang sudah berlaku serta menghukum yang bersalah
dengan hukuman yang berlaku pula. Orang bijak mengatakan, “tidak ada yang salah
dalam peraturan, tinggal bagaimana kita menyikapi dan melaksanakannya.” Karena
perlu kita ketahui, peraturan hanya sebuah peraturan ketika tak ada aksi.
Ahmad Zaim*
Tulisan ini pernah dimuat di Buletin THE SUYUTHI INSTITUTE edisi 8.
Terimakasih atas kunjungan anda....