Tidak
terasa, bulan Ramadan menyapa kembali. Bagi umat Islam, Ramadan merupakan bulan
yang paling istimewa dan agung dibandingkan bulan-bulan lainnya. Secara
asketis, bulan puasa sering disebut sebagai momentum introspeksi dan penyucian
diri. Ibarat mobil, puasa merupakan saatnya “turun mesin” selama sebulan dalam
setiap tahun.
“Turun
mesin” bisa diartikan sebagai proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal
yang rusak, serta memperbaiki total. Saat turun mesin, tidak ada lagi yang
perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per
satu, lalu diperbaiki. Semua harus transparan dan akuntabel, rela diperiksa dan
dikoreksi.
Ritus Peralihan
Kegunaan
praktis ibadah puasa adalah sebagai titik balik perubahan dan ritus peralihan.
Berubah dan beralih dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik sehingga
terbentuk kepribadian yang memiliki cara pandang baru dan inspiratif. Harus
diakui, sebagai bangsa yang religius, dalam segala dimensi kehidupan, kita
masih menunjukkan nafsu libidinal yang tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan
materiil dan imateriil. Dalam sektor politik, misalnya, nafsu libidinal
imateriil itu mewujud dalam praktik pencitraan atau pembentukan pesona tiada
henti sehingga yang tersaji hanya kepalsuan-kepalsuan. Kecenderungan bangsa
kita adalah masih mengunggulkan simbol dan kulit ketimbang esensi dan isi.
Demikian
juga dalam sektor sosial. Nafsu libidinal menampakkan bentuknya dalam konsumsi
gengsi dan corak mode tingkat tinggi sehingga mampu menstrukturisasi kelas
masyarakat. Indonesia menjadi pasar paling empuk bagi korporat asing dan
industri asing. Sebab, watak masyarakat Indonesia masih sekadar menjadi
konsumen daripada produsen.
Dalam
sektor agama, nafsu libidinal justru gamblang terlihat dalam berbagai simulasi
religius sehingga yang muncul adalah spiritualisme artifisial yang semu, penuh
kepura-puraan. Maraknya radikalisme agama merupakan bukti bahwa kondisi
keberagamaan bangsa ini masih sakit. Selain itu, agama acap dijadikan stempel
untuk melegalkan praktik-praktik yang justru melanggar syariat dan kemanusiaan.
Agama tampak besar gaungnya, tapi semakin redup substansinya.
Askestime Sosial
Dalam
pemaknaan berbagai teks agama, tak ada momentum di bulan lain yang melebihi
keistimewaan Ramadan. Melalui puasa, manusia merasakan pengalaman asketis
ataupun estetis yang luar biasa. Biarpun melalui kredo pemaknaan yang sama,
pengalaman rohani ketika menempuh jalan panjang puasa akan terasa berbeda
antarmanusia.
Inilah
ritual yang memendam pengalaman spiritual, estetika, dan sosial yang indah.
Biarpun merasakan dahaga, lapar, serta mengekang nafsu dengan model yang sama,
proses untuk meleburkan diri dalam ruang kesadaran ritual inilah yang
menjadikan petikan pengalaman dan hikmah akan terasa berbeda.
Terdapat
beberapa dimensi penting yang dapat kita renungkan dalam bulan puasa. Pertama, kejujuran. Kejujuran yang kita
praktikkan dalam ibadah puasa adalah kejujuran yang agung dan hakiki. Bagaimana
tidak? Kita sangat mudah berbohong kepada manusia, tetapi tidak mungkin bisa
kepada Allah. Puasa sangat erat kaitannya dengan kejujuran. Puasa adalah
perkara batin dan hati, bukan fisik dan yang tampak saja. Siapa yang tahu kalau
misalnya kita bilang puasa, tetapi di dalam kamar makan dan minum. Di sinilah
puasa memerlukan kejujuran yang hakiki karena ia langsung berkelindan dengan
Tuhan. Dalam dunia kenyataan, kejujuran adalah modal untuk bisa dipercaya oleh
orang lain. Kejujuran adalah modal yang sangat berharga bagi seorang
profesional dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Kejujuran juga amat
penting posisinya dalam kehidupan sosial.
Kedua, kesetiakawanan sosial. Ketika kita
lapar, kita akan merasakan betul apa yang dirasakan oleh orang lain yang lapar.
Demikian pula ketika kita merasakan dahaga dan kekurangan-kekurangan yang lain.
Ini tentu dapat mengetuk hati kita agar tidak menyia-nyiakan mereka yang memang
berkekurangan, termasuk terhadap anak yatim. Artinya, dengan berpuasa, kita
akan semakin tahu diri kita sendiri. Sebuah momen untuk melakukan perenungan,
berdzikir, dan instrospeksi. “Wafi
anfusikum afala tubshirun (dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak
melihatnya dengan mendalam)” (QS Al-Dzariyat: 21).
Dengan
berpuasa, kita semakin merasakan betapa besar nikmat Tuhan yang telah kita
peroleh. Puasa menggiring kita untuk semakian bersyukur kepada Yang Mahakuasa.
Pelajaran bersyukur akan membawa kita pada rasa simpati dan empati terhadap
orang lain. Puasa kemudian mampu mendidik kita mendefinisikan kebahagiaan yang
mencakup ketika sudah mampu ikut membantu dan membahagiakan orang lain. Dalam
kehidupan sosial, puasa akan menggiring kita untuk memiliki soliditas dan
solidaritas terhadap sesama. Sementara dalam kehidupan bernegara, tentu puasa
dapat menginterupsi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.
Ketiga, kesabaran. Tentu kesabaran ini
menjadi kunci dari keberhasilan puasa. Betapa tidak, kita harus menahan lapar
dan dahaga dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari. Begitu
halnya nafsu dan syahwat. Jika kita kaitkan dengan kehidupan sosial, puasa
dapat menggiring kita untuk mau berproses dalam mengejar impian dan cita.
Keempat, perubahan. Perubahan ini berangkat
dari sebuah komitmen yang diwujudkan dengan niat. Ketika seseorang sudah
berniat puasa, dengan sendirinya ia konsisten untuk mempraktikkan niat itu.
Inti dalam praktik perubahan itu adalah komitmen diri. Tentu perubahan di sini
adalah dalam pengertian positif. Change
is growth; change is opportunity; change increases potential (perubahan
adalah pertumbuhan; perubahan adalah kesempatan; perubahan meningkatkan
potensi). Inilah nilai-nilai asketisme
sosial yang dapat kita gali dari ibadah puasa!
Ali Rif'an
Terimakasih atas kunjungan anda....