Bisa kukatakan, kesedarhanaan adalah ruh kehidupan insan di desaku. Jika tolok ukur kaya adalah seorang yang mempunyai mobil bermerk ini, rumah segede lapangan bola, dan lain-lain yang telah menjadi pakem penilaian masyarakat, berarti orang kaya di desaku lebih dari cukup jika dihitung dengan jari.
Usang, sudah usang budaya yang kuceritakan di atas. Sudah sangat lama, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA, pemandangan seperti itu bisa dinikmati setiap hari.
Namun kini, ketika semua kebutuhan pokok harganya melejit, hasil panen petani dihargai jauh di bawah harga pasar, sekolah mahal, dan semua serba mahal, lambat laun budaya perkotaan yang 'individualis' mulai merasuk dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga desaku. Alhasil, setiap hari selalu mencari uang yang lebih demi menutup kebutuhan sehari-hari, dan hal itu mengaburkan betapa pentingnya merajut hubungan dengan sesama.
Bagaimana tidak, terbit hingga terbenamnya matahari, semua sibuk mengurus tembakau, pulang lelah dan tidur. Tak ada waktu lagi untuk sekadar jagong dengan tetangga sebelah. Selalu seperti itu setiap hari.
Bapakku sendiri yang dulu dengan entengnya bisa berujar demikian, kini ia hanya bisa diam dan mengikuti alur kehidupan yang tengah diobrak-abrik oleh kapitalisme. Dulu dan selalu dulu aku membandingkan dengan sekarang, sawah-sawah ditanami jagung, padi, kacang, cabe, ketela, melon, semangka, dan kebutuhan pokok lainnya, sekarang di hampir seluruh sawah, tanamannya hanya tembakau, tembakau dan tembakau. Hanya segelintir orang yang masih keukeh menanam kebutuhan pokok.
Memang, penyebab utama menurutku adalah ketika salah satu pabrik rokok mulai masuk ke desa-desa. Memengaruhi pola pikir masyarakat dengan iming-iming bisa mendapatkan untung yang berlimpah jika mau menanam tembakau. Namanya juga masyarakat desa, yang hanya sedikit yang tahu konspirasi kaum kapitalis, dengan lugu mereka mulai beralih bercocok tanam tembakau.
Tahun pertama tanam, sekitar tahun 2011, tepatnya ketika musim panas pada tahun itu, masyarakat di desaku setelah mendapat pelatihan menanam tembakau, mulai mempraktekkan di sawah-sawah mereka. Dengan telaten (dan memang menanam tembakau seperti mengurus bayi, harus selalu dielus-elus dan ditimang sampai panen datang) para petani mengurus tanaman baru mereka itu. Bim sala bim, tahun pertama panen sangat memuaskan. Minimalnya setiap orang di desaku bisa membeli motor baru yang kisaran harganya 21 juta. Semua bisa tertawa dan selalu kata pujian terhadap pabrik yang telah membuka jalan rejeki baru mereka.
Gara-gara tanaman baru tersebut, budaya yang dulunya telah melakat, kini sedikit demi sedikit memudar. Setiap hari, seperti yang telah kujelaskan di atas, rata-rata masyarakat desaku berkutat dengan tembakau. Memang tembakau susah-susah gampang, saya tak bisa menjelaskan ini, karena memang saya tak paham cara menanam tembakau yang baik itu seperti apa.
Tembakau seakan menjadi racun yang terus menggrogoti sendi-sendi kebudayaan yang telah lama dipertahankan oleh masyarakat desaku. Contoh kecilnya, dan hal ini saya saksikan sendiri ketika salat tarawih bulan ramadhan tahun ini. Ketika semua jama'ah khusyuk menunaikan jama'ah, tiba-tiba hujan turun, sontak hampir seluruh jama'ah lari terbirit-birit menyelamatkan jemuran tembakau yang telah dirajang. Dan masih banyak contoh lain, yang kapan-kapan, jika ada waktu luang ingin kuceritakan dan kutumpahkan dalam sebuah rangkaian kata.
Berlanjut ke tahun kedua semakin heroik perjuangan petani desaku dalam menanam tembakau. Jika pada tahun pertama, rata-rata petani di desaku hanya menanam 1 hektar, di tahun kedua ini petani memberanikan diri untuk menambah luas tanamannya, kisaran 2-3 hektar.
Hal itu maklum, rata-rat petani di desaku selalu berpikir, jika menanam 1 hektar bisa mendapatkan keuntungan 25-50 juta (tergantung tembakau masuk kategori apa, akan saya jelaskan di bawah), berarti dengan menanam di lahan yang lebih luas, akan memperbesar keuntungan, meskipun modal yang dikeluarkan juga sedikit membengkak dari sebelumnya.
Harapan-hanyalah harapan, pabriklah yang menentukan. Begitulah mungkin kalimat yang pas untuk menggambarkan di panen kedua ini. Keuntungan besar yang diidamkan para petani sedikit melenceng, karena menurut para tengkulak, kualitas tembakau di panen kedua ini menurun, lebih jelek dari sebelumnya. Alhasil harga pun melorot. Untung saja, panen kedua ini setidaknya bisa menutup hutang modal, jika tidak, mungkin para petani bisa stres dan menderita.
Asal kawan-kawan tahu, bagi saya pribadi, tengkulak yang membeli tembakau petani di desaku terkesan sepihak. Tak ada pakem penilaian khusus, hanya dengan mencium mereka bisa tahu kualitas tembakau. Bagi saya pribadi, hal ini bisa dibuat dan direkayasa, siapa tahu tembakau yang sebenarnya bagus kemudian dinilai jelek oleh tengkulak tersebut. Bisa jadi ada sedikit gangguan di hidungnya, lagi pilek atau apalah.
Dan anehnya, petani di desaku tak ada yang mempermasalahkan hal ini. Pernah saya nyeletuk kepada bapak tentang hal ini. Jawaban bapak cukup untuk mengecewakanku, “Buat apa terlalu dipermasalahkan, toh mereka sudah ahli menanam tembakau,” begitu kurang lebih jawabannya.
Saya juga sering mengingatkan kepada keluarga besarku, jangan menanam tembakau dari pabrik ini, soalnya pabrik ini telah di kuasai asing. Peringatanku muncul bukan karena aku sok pintar atau bagaimana, mungkin karena pengaruh setelah membaca buku hadiah dari kawan-kawan Komunitas Kretek. Lagi-lagi tanggapan mereka mengecewakanku yang kedua kalinya, “Ngapaian kami peduli dengan negara, yang penting petani makmur. Ngapain peduli negara, toh pemerintah juga tak pernah peduliwong cilik.”
Sudahlah, mungkin aku harus menjadi orang besar dulu, agar suaraku bisa di dengar oleh keluarga khususnya. Kata-kataku yang bermaksud mengingatkan tersebut hanya menjadi angin lalu. Biarlah, semoga Tuhan lekas menyadarkan. (Aku berpikir seperti ini bukan berarti aku merasa yang paling benar, karena orang hidup di dunia ini berusaha mencari kebenaran, hanya mencari kebenaran, dan kebenaran yang paling benar, hanya Tuhan yang tahu).
Tak ada kapoknya dan tak pernah belajar dari apa yang telah terjadi, mungkin begitulah sedikit kritik untuk masyarakat di desaku. Pada panen ketiga ini, masyarakat desaku masih antusias untuk menanam tembakau. Bank-bank selalu ramai, dan masyarakat menjadi budak dan selalu tak tenang akibat hutang-hutang mereka.
Singkat kata musim panen datang. Saya sudah di bumi perantauan, setelah hampir dua minggu liburan di kampung halaman dan sempat membantu bapak memanen tembakau.
Masih ingat betul, ketika saya tengah rapat dengan kawan-kawan di skretariat pers mahasiswa, tiba-tiba hanphoneku berdering. Kulihat siapa yang menelfon, ternyata bapakku. Dalam hati saya sedikit heran, tumben bapak menelfon di jam-jam segini.Mungkin ada yang penting, sehingga beliau menelfonku pada tengah malam seperti ini.
Kukira ada kabar nenek sedang sakit atau ada saudara yang meninggal, eh ternyata bapak hanya curhat. Beliau mengaku menyesal, karena tidak mendengar kata-kataku. Di panen ketiga ini, para petani gagal panen, tembakau dinilai tak layak masuk pabrik.
Saya teriris mendengar ini, ingin marah tapi siapa yang mau dimarahi. Hanya kata makian-makian yang mengendap dalam hati. Begitulah, di panen ketiga ini rata-rata petani bangkrut dan kelimpungan menutup hutang di bank-bank. Dan bapakku mengaku kapok menanam tembakau lagi. “Mungkin bapak sudah cukupkan di sini untuk menanam tembakau,” tutupnya mengakhiri telepon.
Tak salah petani menanam tembakau, karena mereka berjuang demi kehidupan mereka. Yang kurang ajar ya para tengkulak dan pejabat-pejabat yang hanya bisa membuncitkan perut pribadi mereka. Benar sindiran-sindiran puisi Om Wiji Thukul tentang buruh, benar lagu Iwan Fals yang menyindir dan menyentil para tengkulak, dan benar kata Tan Malaka yang menurutnya negara ini tak pernah mencapai puncak kemerdekaan.
Semoga tulisan yang tak berguna ini bermanfaat bagi yang membaca. Begitulah kawan, di negaraku petani tak pernah dihargai. Tak bisa membayangkan, kalau semua petani di negara ini menghentikan kegiatan menanamnya. Akan makan apa negara ini? Oh iya, negaraku lebih mencintai impor, daripada menghargai hasil bumi sendiri. (Ibil)
Terimakasih atas kunjungan anda....