BREAKING NEWS
Search

JABAT TANGAN NU-MUHAMMADIYAH




Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya adalah akidah dan syariaat, mempunyai korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap  dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari’at, sebagai katalog lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia, dan pengantur lalul intas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.
Islam dan poitik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
 Politik yang sekadar dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup konstribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.
Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam pemerintahan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti mengahpus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam peraturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslim mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahun sosial dan politik, untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.
Syari’at Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya, tergambar dalam tatanan syari’at tentang mu’asyarah (berkomunitas) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqh siyasah dan  sejarah khilafah ar-Rasidah, misalnya, dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi ya’la al-Hanbali.
Pada zaman Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, dapat dipastikan, rasul dan sahabat-sahabatnya itu di samping menjadi pimpinan agama sekaligus menjadi pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda “memelihara agama sekaligus mengatur dunia’’ dengan sasaran pencapaiaan kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Dalam teori politik sekualar, agama tidak dipandang sebagai sebuah kekuatan. Agama hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensasi, misalnya, seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas’ud terhadap ungkapan ulil al-amr sebagai ummara’ (pemimpin formal pemerintah), yang dibedakan dengan ulama sebgai pemimpin agama.
Pengertian politik (as-siyasah) dalam fiqih Islam menurut  ulama Hanbali adalah sikap, perilaku, dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, meskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah Saw.
 Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan memberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi terhadap nabi dan kaumnya, menurut pendapat ini, tugas ini meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama yang mewarisi nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriah saja.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap, dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum perinsip syari’at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan, dan mengamalkan agama Islam; (2) mengembangkan rasio dan cakrawalanya untuk kepentingan umat; (3) memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidpunya, baik yang primer, sekunder, maupun suplementer; (4) memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal; (5) memelihara keturunan dengan memnuhi kebutuhan fisik maupun rohani.
Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan haya soal yang berurusan dengan pemerintahn saja, terbatas pada struktural formal belaka, melainkan juga menyangkut kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legeslatif, maupun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani maupun rohani, dalam hubungan kemsayarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Partai Politik (Parpol) Islam di negara kita mengamalkan apa yang telah menjadi pedoman perpolitikan dalam Islam, apakah mereka juga saling menghargai pendapat satu dengan yang lainnya. Apakah mereka berpolitik untuk  megusung islam yang rahmatan lil alamin ataukah hanya mencari kenikmatan untuk dirinya sendiri.
          Sebaiknya kita berkaca dari sejarah, pada awal tahun 2002 cahaya optimisme di ruang publik politik praktis terlihat meredup.  Konflik internal partai semakin tajam, seperti kubu Alwi Syihab dengan kubu Matori, keduanya dari PKB. Selain itu PPP yang berada di ambang perpecahan antara DPP-PPP Hamza Has dengan PPP-Revormasi KH. Zainuddin. MZ.
Untunglah di tengah-tengah perpecahan partai-paratai itu ada pikiran sehat di kalangan pucuk pimpinan NU (KH. Hasyim Muzadi) dan pimpinan pucuk Muhammadiyah (DR. Syafii Maarief) yang tidak terpengaruh oleh angin perpecahan bangsa yang tengah bertiup kencang di kalangan Parpol Islam maupun  yang memporak-porandakan rasa persatuan di kalangan masyarakat Ambon, Ternate, Poso, Sampit, Sambas, Aceh dan Papua.
Kedua pimpinan organisasi sosial Islam terbesar di Indonesia itu menyempatkan diri bertemu dan merumuskan prinsip dan agenda kerjasama pembinaan moral bangsa, untuk menunjukkan dan sekaligus membuktikan sejuknya wajah Islam jika yang ditampilkan adalah wajah asli, dan bukannya topeng Islam yang justru memperlihatkan naluri keberingasan dan keberutalan massa.
Kedua organisasi yang merupakan representasi mayoritas umat Islam Indonesia tersebut ingin bersama-sama menguoayakan agar perilaku individual dan perilaku sosial umat Islam di Indonesia mencerminkan Islam yang rahmatan lil alamin, bukannya laknatan lil alamin. Citra yang ingin dibangun kembali oleh NU dan Muhamadiyah adalah Islam yang membebaskan, bukan Islam yang menindas, Islam yang mendatangkan berkah, bukan Islam yang mendatangkan bencana.
Tidak mudah upaya image buiding itu, karena harus melengkapi format keislaman seseorang tidak hanya bagaimana memuliakan Tuhan dalam ritual keagamaan, tetapi juga bagaimana memuliakan manusia dalam relasi dan interaksi sosial.
Tanpa perilaku yang memuliakan manusia itu suatu pengingkaran terhadap komitmen kita untuk memuliakan Tuhan.
Maka dalam konteks niat mulia NU dan Muhamadiyah untuk menjadikan bangsa Insonesia sebagai bangsa yang tahu memuliakan manusia sebagai penghayatan iman yang memuliakan tuhan, ada suatu tawaran untuk NU dan Muhamadiyah. Yaitu bagaimana kesepakatan untuk bekerja sama dalam pembinaan moral dan karakter bangsa, khususnya dikalangan umat Islam di Indonesia, untuk membangun citra positif tentang Islam, sekalian ditingkatkan menjadi kerjasama politik bangsa.
Tidak untuk menjadikan NU dan Muahammdiyah masing-masing secara terang-terangan dan resmi menjdai partai politik. Melainkan bagaimana NU dan Muhammadiyah secara terbuka memprakarsai berdirinya satu partai politik Islam di Indonesia, tanpa menjadi partai politik sendiri-sendiri.  Partai politik itu dilahirkan bersama dan didukung bersama oleh NU dan Muhammadiyah, tapi tetap ada jarak kontrol  antara partai politik yang dilahirkan itu sebagai organisasi dan wadah politik praktis, dengan NU dan Muhammadiyah sebagai oraganisasi sosial - keagamaan.
Sehingga yang mengelola paratai politik itu bukanlah NU dan bukan pula Muhammadiyah, melainkan hanyalah orang-orang NU, seperti yang kini berlaku di PKB, dan orang-orang Muhammadiyah seperti yang kita saksikan di PAN.
Siapa tahu, dengan satu partai politik Islam di Indonesia yang resmi diprakarsai dan didukung oleh NU bersama Muhamadiyah, dan juga mungkin organisasi Islam yang lainnya, bisa mereduksi potensi konflik di antara sesama partai politik yang berbasis Islam, dan sekaligus bisa memberikan sumbangan yang lebih konkret dan supportif bagi satabilitas politik dan pertumbuhan politik di Indonesia.



TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “JABAT TANGAN NU-MUHAMMADIYAH

    Terimakasih atas kunjungan anda....