Pada suatu waktu ada sebuah pertanyaan dari seorang teman
yang dituju pada penulis, “Apa kamu
moderat?”
Seketika itu juga penulis menjawab dengan bangga, “Tentu
saja,” Jawaban ini keluar didasarkan
dari pengetahuan penulis tatkala itu, bahwa sebuah sikap moderat adalah pilihan yang
wajar dan seharusnya melekat pada diri setiap manusia, itulah sejauh yang
diketahui penulis, tidak lebih.
Ternyata jawaban ini sepertinya memang sudah
diprediksi oleh seorang teman tadi yang berkarakter kritis, dan dia meneruskan
dengan sebuah pernyataan, “Jadi kamu tidak berpijak pada suatu pilihan, alias
terombang-ambing tidak jelas.”
Sangat tersentak atas pernyataan tersebut.
Bagaimana tidak, ketika jalan pikiran dijejali akan moderatlah jalan yang baik
-tidak berarti setiap tempat doktrinisasinya seperti yang diutarakan di sini,
tapi ini (doktrinisasi) terjadi di tempat asal penulis- dan taklid tanpa
tanya bahwa itulah yang memang baik, tentu saja pernyataan terombang-ambing
benar adanya membuat terombang-ambing.
Saat itu penulis menutup wajah kebingungan
dengan seakan yakin, “Siapa kata tidak berpijak, tentu saja moderat itulah
suatu pijakan.”
Singkat kata, percakapan itu dipaksa berakhir
tanpa terselesaikan.
Setelah itu, seperti terduga, penulis mencari arti dari kata moderat.
Pencarian yang panjang sebenarnya untuk diceritakan secara naratif kronologis.
Tapi terlalu sayang untuk tidak diutarakan. Jadi, akan dicoba pengutaraan yang
mungkin terkesan dipaksa.
Moderat, sebuah kata yang dikenal dalam kamus
bahasa Indonesia sebagai sikap selalu menghindar dari perilaku atau
pengungkapan yang ekstrem atau bercenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Melihat dari kata “bekecenderungan ke jalan tengah” tentu saja sikap moderat ini
sesuai dengan Islam, terlebih umat Islam. Pasalnya, merujuk pada kata wasathan dalam
kalimat ummatan wasathan (QS al-Baqarah [2]: 143). Kata wasath
dalam ayat tersebut berarti khiyâr (terbaik, paling sempurna) dan ‘âdil
(adil). Dengan demikian, makna ungkapan ummatan wasathan berarti umat
terbaik dan adil dalam koridor syariah dan tentu saja berkecendrungan ke jalan
tengah.
Belum menjawab keterombang-ambingan
memang, tapi sekarang apa perlu hal tersebut dijelantrahkan (diperjelas)
dengan mendalam ketika moderat sendiri tercipta sengaja tidak dengan penjelasan
lebih. Dalam artian, seperti yang diungkapkan di atas, kebertengahan (moderat)
lebih tertitik beratkan pada tujuan adil dan toleran. Tidak heran ketika bicara
moderat selalu mengarah pada toleransi. Jadi seakan ada unsur kesengajaan untuk
tidak begitu jelas, untuk selalu dapat berubah, dinamis.
Selanjutnya, perlu penghalusan kata sebenarnya dari kata “terombang-ambing”
yang digunakan seorang teman sebelumnya. Selayaknya dinamis-lah kata yang
pantas. Bukannya terombang-ambing dalam arti bingung memilih langkah. Lagi-lagi
istilah moderat memang tidak digunakan secara tegas. Ini mencerminkan bahwa
istilah moderat dimaksudkan sebagai watak yang apresiatif dan sejalan dengan
lokalitas dan modernitas yang selalu berubah.
Mengarah pada Islam, karakter moderat
untuk mengarah pada toleran dan simpatik itulah yang sebetulnya mengakar kuat
dalam perkembangan Islam selanjutnya, terutama di Indonesia. Meski belakangan
muncul karakter lain, yaitu puritan. Namun begitu, secara keseluruhan, watak
Islam yang tersebar di Indonesia adalah moderat.
Islam Moderat, itulah
kata yang sering digunakan untuk membedakan dengan Islam puritan yang berkembang,
walaupun sebenarnya Islam an sich adalah moderat. Islam moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi,
tidak ada yang bisa menghindar dari nama Gus Dur sebagai ikon Islam moderat
Indonesia.
Tidak berlebih pernyataan tersebut. Seperti yang
diungkapkan oleh Zacky Khairul Umam, Wakil Direktur
Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) di Universitas Indonesia
dalam opininya di Media Indonesia, pernyataan itu diakui secara
mendunia. Gus Dur adalah `wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan
dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil
meramu ke-modern-an dan ke-Indonesia-an dalam wacana dan praksis keislaman
merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti
almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja
keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali
langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung
pangkalnya.
Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide
besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan
kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi,
modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk
setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.
Itulah Gus Dur, orang besar yang penuh kontroversial
karena kesetiannya terhadap idealisme moderatnya, yang selalu membela kaum
minoritas, sampai-sampai ia dianggap menganak-emaskan agama maupun kelompok
diluar Islam.
Dalam kenyataannya secara mayoritas
kemunculan “Islam moderat” sebagai salah satu alternatif “versi” Islam kini diminati banyak kalangan. Dialog-dialog keagamaan yang mengarah pada tatanan
yang damai, toleran, dan berkeadilan merupakan indikasi bahwa model berislam
secara moderat sebagai pilihan. Moderatisme juga dinilai paling kondusif di
masa kini.
Jadi kembali ke jawaban awal, “Tentu saja,
aku moderat, seorang muslim Moderat.” Tidak lagi menjadi jawaban taklid, tapi
dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan sesuai dengan ala Gus Dur.
Wassalam. (Muhammad Fahdi “Muham”)
Terimakasih atas kunjungan anda....