BREAKING NEWS
Search

Makin Rapuhnya Academic Athmosphere Kampus



          Kampus, universitas ataupun perguruan tinggi, adalah komplek yang menjadi suatu wadah pembelajaran dan pengajaran bagi para penuntut ilmu dalam jenjang tertinggi, atau biasa disebut sebagai mahasiswa. Yakni siswa yang maha segalanya daripada sekedar siswa biasa.
          Tentunya setelah melihat diskripsi tersebut, tidaklah suatu hal yang menyimpang jika dikatakan bahwa kampus seharusnya penuh dengan atmosfer akademis, demi menunjang masa depan bangsa yang lebih baik. Bukankah mahasiswa adalah agent of change?
          Tapi kenyataan berbicara lain. Atmosfer itu walaupun dahulu pernah sangat kental, ternyata sekarang semakin menipis, bahkan hampir hilang. Kampus kehilangan ruh-nya, tidak ada lagi tradisi akademik yang mengedepankan keterbukaan, kejujuran dan pertanggung jawaban. Budaya aktif diskusi dan kajian sebagai sarana disseminasi IPTEK serta menguji kebenaran ilmiah yang dulu begitu menjamur di kampus-kampus mulai ditinggalkan. Budaya tulis-menulis, membaca dan meneliti juga sudah tiada yang berminat, sehingga perpustakaan dan penelitian diperlakukan apa adanya. Padahal dengan adanya budaya-budaya tersebut, kritisitas dan mentalitas mahasiswa akan terasah. Begitu pula akademis mahasiswa akan melejit.
          Di atas hanyalah beberapa indikator budaya akademik yang seharusnya dimiliki dan senantiasa melekat dalam pengelolaan masyarakata akademik. Maka dengan hilangnya kekhasan tersebut, hilang pula masyarakat akademik yang diharapkan. Dikatakan masyarakat, karena sebenarnya kampus itu sudah dapat mencerminkan sejauh apa akademisitas masyarakat sekitar kampus dalam skala luas yang bahkan skala nasional. Baiknya akademik kampus maka baik pula akademik masyarakatnya, begitu pula sebaliknya.
          Ternyata kerapuhan Academic Atmosphere kampus tidak hanya sampai disini saja. Hal ini dapat dijelaskan dengan mengingat ulang dari kesejatian pendidikan akademis, yakni mampu menciptakan warga negara yang menguasai ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni, serta memiliki kearifan memahami dan mengatasi persoalan di masyarakat dengan penuh dedikasi dan keikhlasan. Faktanya pendidikan hanya mampu memproduksi orang pintar namun jauh dari nilai-nilai kejujuran dan cinta kasih. Akibatnya kebenaran menjadi sulit ditemukan, korupsi merajalela bahkan merasuk ke kampus-kampus yang dilakukan secara terbuka oleh orang-orang pintar tanpa rasa malu, kejujuran jadi barang langka dan keadilan tergadaikan. Dalam konteks inilah sebenarnya kita harus memandang problem substansial dari dunia pendidikan tinggi, yang bisalah tergambarkan dengan kalimat “Robohnya Kampus Kami.”
          Demikianlah fakta-fakta yang terpaparkan di depan mata. Tapi kenapa bisa demikian? Pertama, adanya sifat individualisme yang semakin merebak dikalangan muda. Sifat ini menyebabkan rasa tidak butuh dan acuh terhadap lainnya dan memprioritaskan secara brutal kepentingan pribadi yang tentunya akan mengikis rasa kebersamaan dalam menuntut ilmu, padahal kebersamaan inilah yang mendorong adanya diskusi dan kajian. Inilah akar permasalahan dari melemahnya budaya diskusi serta kajian.
          Kedua, sikap konsumtif yang berlebih. Sikap konsumtif di sini tidak hanya terhadap produk-produk barang real saja, tapi juga non real, seperti produk acara tv yang kebanyakan tidak mendidik, serta produk dunia maya yang tidak tepat guna. Dari dapat menjelaskan kenapa budaya membaca dan menulis semakin berkurang. Waktu mereka dihabiskan untuk memenuhi sikap konsumtif yang takkan terpuaskan.
          Ketiga, kurangnya landasan keagamaan dalam sanubari. Pada giliranya sikap kemanusiaan yang jujur dan cinta kasih menjadi tersisihkan. Yang tersisa tinggal kerakusan untuk mencapai keinginan dengan segala cara.
          Selain faktor-faktor di atas yang lebih condong kepada mahasiswa, masih ada lagi faktor yang condong dari para birokrat kampus; seharusnya terdiri dari insan-insan akademik yang memiliki ciri-ciri sebagai seorang scientist, bukan orang-orang yang dipertanyakan academik standing-nya, tidak pernah atau jarang-jarang meneliti, tidak pernah memikirkan pengembangan kapasitas dan kompetensi akademiknya, tidak pernah memikirkan pengembangan kualitas pengembangan kualitas pembelajaran, tidak pernah menulis dan mempublikasikan karya ilmiahnya, dan tidak pernah menggunakan hal-hal demikian tadi sebagai jalan pencapaian karir akademiknya di kampus, sehingga cenderung menggunakan jalan pintas untuk menduduki jabatan-jabatan struktural di kampus. Karena lemahnya tradisi akademik inilah jabatan struktural sering kali menjadi lahan perebutan, dosen cenderung berorientasi kekuasaan sehingga menghalalkan cara-cara yang harusnya diharamkan dalam kultur akademik kampus, seperti ‘copy-paste’ (plagiat) dan lain-lain.
          Namun bagaimanapun juga sangat tidak adil jika dikatakan seluruh kampus secara merata adanya sedemikian itu. Hal-hal di atas hanyalah menggambarkan ketika Academic Athmosphere kampus benar-benar telah rubuh. Karena pada kenyataan yang lain, masih ada pejuang-pejuang penegak Academic Athmosphere kampus, entah itu dari pihak mahasiswa, maupun dari pihak birokrat kampus yang sama-sama sadar akan problematika yang mendasar ini. Tapi meskipun demikian tetap tidak ada penyangkalan akan adanya kerapuhan. Hal ini sangat terasa. Jumlah mereka, para pejuang, sangatlah sedikit.
          Untuk itulah, sudah menjadi kewajiban kita para penghuni kampus maupun masyarakat yang berbangsa pada umumnya, untuk membantu agar Academic Athmosphere kampus yang saat ini sudah demikian rapuh, tidak menjadi rubuh, bahkan dapat ditegakkan kembali. Lalu pertanyaannya, “Mampukah kita?”


TAG

nanomag

Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum | Progresif, Beramal Ilmy, Ilmu Amaly


0 thoughts on “Makin Rapuhnya Academic Athmosphere Kampus

    Terimakasih atas kunjungan anda....