Judul : Larung
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Halaman : 259
Cetakan : 1, November 2001
Tak banyak novel yang memikat pembaca lewat alur cerita yang kuat serta gaya bahasa menarik. Termasuk satu diantara yang tidak banyak itulah –Larung-- karya Ayu Utami.
‘Larung’ adalah benang merah dari cerita novel pertama ‘Saman’. Kedua novel ini mempunyai kemiripan, tokoh utama yang dimunculkan lewat budaya atau kondisi masyarakat dengan berbagai kelemahan dan kelebihannya masing-masing.
‘Saman ‘ dengan Ibunya sebagai poros budaya yang ingin ditampilkan. Dan ‘Larung’ dengan simbah yang sarat dengan keganjilan adalah titik temu antara kedua novel Ayu Utami ini.
“Mas, bade tindak pundi mawon?” lalu ia seperti mengalihkan pembicaraan.
“Aku arep mateni simbahku.” Aku mau membunuh nenekku.
“Lho, kenapa?”
“Tidak apa-apa. Dia terlalu bawel aja, dan dia sudah
waktunya meninggal.” (halaman : 7)
Diawal-awal pembukaan novel, kita sudah langsung dihadapkan pada konflik. Dimana Larung ingin membunuh simbahnya. Pembicaraan dengan orang yang baru saja dikenal, jelas bagaimana karakter tokoh utama novel ini ingin dihadirkan. Lewat adegan yang singkat, sosok tokoh utama menyatakan keinginannya. Ketidakwajaran.
Keganjilan inilah yang akan membawa pembaca menelusuri alur cerita. Memikat pembaca dengan sesuatu yang dianggap tabu untuk dilakukan.
Yang menarik lagi, adalah bagaimana pergolakan antara ‘Aku’ dan ‘diriku’ dalam tokoh utama. Suatu kebimbangan, yakinkah dengan apa yang akan dipilih? Benarkah ia ingin membunuh simbahnya? Menyesalkah, atau malah sebaliknya?. Hal seperti ini, akan sering kita temui dalam novel ‘Larung’. Setidaknya dari sinilah Ayu Utami bermain-main dengan diksinya. Sesuatu yang unik tentunya.
“Tetapi kematiannya akan menjadi sejenis bunuh diri karena aku adalah dia dan dia adalah aku. Dan siapakah engkau, suara-suara yang meragukanku? Akukah engkau, engkaukah aku? Sebagaimana engkau adalah aku dan aku adalah engkau meski kau menyangkalku, aku dan simbah adalah aku. Keputusanku adalah keputusannya, yaitu keputusanku. Aku.”(halaman : 52)
Secara bertahap, sedikit demi sedikit pembaca akan menemui paradoks dalam diri tokoh utama. Kontruksi karakter tokoh utama yang semula dihadirkan akan berbalik arah, dimana narasi-narasi apologi sebuah tindakan akan penulis datangkan.
Tentu argumen-argumen penulis tidak lepas dari budaya yang semula menjadi konsen kepenulisan novel ini.
Belakangan juga akan kita sadari seperti halnya novel pertama. Bahwa, tidak ada sudut pandang tunggal dalam novel Ayu Utami. Ia meninggalkan kesan serba-tahu oleh satu orang secara keseluruhan. Barangkali ini akan membingungkan, loncatan sudut pandang dari tokoh satu ke tokoh yang lainnya yang seolah-olah menawarkan diri menjadi ‘aku’ sudah barang tentu tak mudah dipahami. Apalagi untuk orang awam dalam kajian sastra seperti saya. Novel kedua ini juga agaknya tak sekuat novel pertama dalam mengkritik permasalahan sosial.
Pertemuan Larung dan Saman untuk permasalahan sosial-politik-HAM adalah puncak konflik paling menegangkan. Upaya membawa keluar aktivis HAM yang menjadi incaran pemerintah setempat menuju Amerika Serikat berakhir dengan kegagalan dan juga merupakan akhir novel ‘Larung’ ini. Meskipun begitu, yang mengesankan justru kemisteriusan seorang Larung yang masih tetap dipertahankan hingga akhir.
Novel 259 ini sebenarnya karya seorang idealis dengan ideologinya. Ayu Utami dalam ‘Larung’ jauh lebih sedikit memperlihatkan kebinalan berbahasa ketimbang ‘Saman’. Dalam artian, novel pertama ‘Saman’ jauh lebih nakal.
Terlepas dari entah nakal atau tidaknya karya ini, tentu novel ini penuh dengan kejutan. Membuka sesuatu yang ada ditengah-tengah kita, akan tetapi sulit bagi kita untuk membayangkan. Padahal sejatinya kita ikut serta memerankan dan bersinggungan langsung di dalam kehidupan novel secara nyata.
Mochammad Abdul Kholiq
Terimakasih atas kunjungan anda....